Godaan Tengah Malam
“Kalau ada yang membunuhmu, apa kamu bakal gentayangan?”
“Mas takut hantu?”
Malam merambat di dinding yang dingin dan tipis. Jendela sudah
tertutup, tetapi kuping iblis masih mampu menembus dadaku. Dia berdesis…
Kuletakkan kesadaranku di perutmu. Jahitan di sana sudah
kering-jahitan yang dibikin oleh dokter pria, satu setengah senti dari tempat
kencingmu.
“Hahaha, aku tidak takut mati tapi aku masih mencari cara
agar tidak menyakitkan.”
“Kenapa mau mati? Mas Tidak sayang aku?”
Kenapa membunuh harus dengan sayatan kebencian? Ali bin Abi
Thalib tidak jadi membunuh musuhnya karena takut melakukannya dengan rasa
benci.
Dongeng seribu satu malam tak kunjung selesai kaubacakan ke boneka
menyalamu. Ini sudah hari ke 1312, jadi, sudah berapa kali kau absen bercerita
kepadanya atas alasan malas, alasan ingin membuka ponsel yang tak berdering,
menutup pintu yang tak pernah dibuka.
Aku tidak membenci makhluk Tuhan. Mengapa aku menikahi orang
yang namanya kuletakkan dalam daftar hitam?
Aku lupa menjawabnya dan mataku telah bertemu gelap.
Suara ibu yang datang dengan kekhawatiran memaksaku
terbangun. Bayi, alasan dia datang karena bayi, bayi yang mungkin hampir
kusikut dua jam sebelumnya.
“Sarapannya sudah siap,” kata ibu yang entah mengapa selalu berkerudung
sepanjang hari-nanti engkau mungkin akan tahu jawabannya.
“Menantu macam apa kau ini? Ibumu sudah selesai membangun
gedung-dan menghibur perasaan- yang hancur karena Perang Vietnam, invasi Rusia
ke Ukraina, penjajahan Indonesia atas Papua…”
-Biarlah iblis di jendela terus berdebat, padahal ada perang
belum selesai-
Diam-diam aku ingin menulis. Tetapi tulisanku penuh tanda
tanya yang sedih. Aku tidak pernah berjalan lebih dari 500 langkah, bagaimana
bisa aku kenal tetangga yang miskin 600 langkah dari rumah mertuaku?
Hari ini aku akan bertemu pejabat penting. Kemarin, bapak
sudah mengasah pisau daging terbaiknya. Aku juga baru saja membeli belati di
pasar desa kemarin pagi. Ada pisau kecil milik istriku di laci yang sudah
karatan.
Di dalam kamar mandi, aku melihat tali yang tergantung. Tenang,
aku tak melihat ada leherku di sana. Tetapi apakah tidak mungkin?
Ini hari Jumat. Kata kiyai, hari yang sama dengan saat
kiamat. Aku mulai melepas pakaianku. Untungnya, tidak ada tali.
Aku keluar kamar mandi dengan handuk di badan. Sebagian tubuhku
basah, sebagian daun basah oleh embun, dan bumi ini pun basah.
Aku melihat wajahku di cermin, tetapi di sana sudah gelap. Aku
bertanya ke istriku, jam berapa ini?
Dia masih tidur. Begitulah perempuan malas dan manja. Aku menghentak
badannya.
“Jam berapa ini? HP-ku mati. Aku sudah mandi.”
Mandi? Ini jam 2 pagi.
Aku tak percaya. Tapi istriku menunjukkan layar ponselnya.
“Mas jadi membunuhku?”
Dia tidak berkata begitu, tetapi aku seperti mendengarnya.
Ada pisau di laci. Apakah aku akan mengiris dagingku-atau
dagingku dan dagingnya?
Aku ingin menulis, maka aku memilah kertas yang putih. Kutuliskan
namaku yang agak panjang: Dendra Mahesa Wildansyah Nareswara Ibrahim. Meninggal:
pada bulan sabit di tengah tahun dengan musim panen padi.
Aku terus menulis, dan ponselku berdering…
“Mas, seharian ini kok tidak kirim berita? Apa ada musibah?”
Tertulis: Mas Thufail Redaktur.
Aku melihat ponsel: pukul 20.09 WIB.
Aku melihat istriku: dia balik memandangku, dan berkata: Mas
jadi mau membunuhku?
Sekali lagi, dia tidak benar-benar mengatakannya.
Aku melihat bayi dan mertuaku. Bayi digendong di dadanya. Aku
tidak mencium bayi itu sebentar. Baunya wangi, belum berdosa, belum mengerti
kemiskinan di Afrika, peperangan di Palestina, belum tahu kepala cucu Nabi yang
dibuat sepakbola, belum ingin menyentuh pisau.
Namanya sangat Palestina: Ghanim, entah apa artinya. Aku suka.
Tapi aku harus menulis berita.
Aku membuka web milik pemkot. Ada berita wali kota sedang
berak di belakang presiden. Ada gubernur ingin bersepeda mengelilingi banjir rumah
janda seksi. Ada wakil wali kota meresmikan miniatur rumah pemulung.
Tanganku tiba-tiba dingin. Dan di sinilah aku berhenti
menulis. Titik.
11 Juli 2022.
Komentar
Posting Komentar