Sekelumit Cerita Saat Sowan Gus Baha'
Saya tidak tahu mengapa Jumat (5/3/2020) lalu menjadi hari yang mungkin paling uring-uringan sepanjang hidup seperempat abad di bumi ini. Yang lebih aneh lagi, rasa tak jelas di hati dan pikiran itu terjadi tanpa sebab yang jelas, saya benar-benar tak tahu penyebabnya. Seperti linglung, habis kehilangan banyak hal di hidup ini.
Tapi rasa uring-uringan itu berangsur-angsur surut saat Sabtu pagi, grup WA kantor membikin pengumuman kecil: malam ini (Sabtu malam itu) diagendakan sowan Gus Baha.
Kang Sub, sohib sekantor yang tinggal di Blora langsung mendaftarkan nama saya dan namanya di nomor lima besar. Dia pede mau ikut.
Tetapi agak siangan, Sohib Rembang Genk Ali yang didapuk jadi ketua panitia agenda sowan ini bikin pengumuman susulan: sowan diganti waktu jadi Minggu pagi pukul 07.00.
Kang Sub memutuskan untuk membatalkan keikutsertaannya. Saya kekeh tetep ikut. Kapan lagi sowan kiai kharismatik ini coba, pikir saya.
Pengumuman berikutnya: yang ikut sowan dianjurkan pakai pakaian santri. Minimal berpeci dan pakai kemeja, plus sarungan. Tentu saja ini syarat yang mudah dan lumrah.
Subuh di hari Minggu pun tiba. Alarm HP saya berbunyi dua kali: pukul 04.00 dan 04.15. Tetapi mata saya baru benar-benar menyala pukul 04.30. Saya lalu mandi dan Subuhan.
Pukul 05.10, bokong saya sudah di jok motor Vario hitam berplat Semarang itu. Siap melaju. Saya pastikan sarung dan peci sudah berada di tas. Roda motor pun bergerak ke depan.
Dingin yang menyerang ke sum-sum membuat saya menarik resleting jaket kumel yang saya pakai sampai atas, mentok. Telapak tangan dan kaki sudah saya pakaikan sarung, tapi dingin masih lumayan.
Dari kos di Blora kota sampai Rembang kota memakan waktu sekitar 45 menit. Saya pikir kumpul dulu di kantor Rembang. Ternyata langsung ke TKP, Ponpes Al Qur'an di Narukan, Kragan. Saya cek di google map yang dibagikan Genk Ali, durasi waktu sampai di sana menurut estimasi 51 menit. Pas lah kalau memang jam 07.00 agenda dimulai.
Saya pun tancap gas lagi. Agak ngebut karena takut telat. Syukurlah jalan lancar. Di perjalanan itu saya seperti mendapat keajaiban: perjalanan seperti dicepatkan. Biasanya saya dari Rembang ke Lasem sekitar 25 menit, tetapi ini lebih singkat. Saya lihat jam di monitor motor. Mungkin karena masih pagi. Belum banyak robot raksasa yang lewat.
Saya baru membuka HP menjelang tikungan besar ke arah kanan dekat Pasar Kragan. Lha kok pas bener. Saya pun membelokkan tunggangan saya dan beberapa menit kemudian, sampailah di gang yang terdapat petunjuk yang dicari, di sisi kiri: ke Ponpes Al Qur an.
Tentu saja langsung saya belokkan. Hampir kebablasan aslinya. Motor melaju, dan sekitar semenit kemudian, jeng jeng jeng....
Jeng jeng jeng...
Saya tengok di sisi kanan, saya lihat Gus Baha sedang bercengkrama dengan dua orang nenek. Sepertinya salah satunya itu ibunda Gus Baha. Poto yang sering dibuat status WA Gus No, tokoh legendaris Rembang punya. Hehe.
Tetapi karena tahu itu bukan tempat pertemuan kami, tunggangan masih saya gas, sampai akhirnya ketemu sebuah lapangan besar. Di bagian kanannya tertulis jelas, Aula Mbah Nur Ponpes Al Qur an. Di lapangan itu juga terparkir mobil kantor. Saya majukan sedikit tunggangan, dan tampaklah rombongan sedang antre memasuki aula yang lebih kecil di bagian barat.
Vario yang lakernya sudah bunyi krak-krek krak-krek terus itu pun saya parkir. Helm saya lepas, jaket saya lepas. Peci dan sarung pun saya keluarkan dari tas.
Jeng...jeng... jeng...
Bang Ipul pun menjelma Gus Ipul... Hahahaha.
Agak ragu saya mau langsung kumpul dengan rombongan yang lebih dulu. Asem. Agak telat. Tetapi saya juga berpikir, sopir mobil kantor ini agak ugal-ugalan juga mungkin. Mosok jam lima kurang seperempat berangkat dari Jalan Lingkar Kudus dekat UMK sampai di Narukan, Kragan, Rembang sebelum jam 07.00. Bahkan pas saya lihat foto yang dibagikan di grup kantor, sudah ada yang mengunggah jam 06.49. Ajaib sekali sopirnya. Mungkin mereka juga punya perasaan mirip saya: dicepatkan perjalanan.
Yah akhirnya, saya bergabung juga dengan rombongan. Ada 15 orang kantor termasuk saya yang ikut. Termasuk Direktur dan Pemred. Tapi tidak termasuk Pak Imron, guru Smanela yang turut serta rombongan.
Di aula itu ada vigura foto keluarga Mbah Moen beserta anak-anaknya. Di bagian yang lain ada magic jar lengkap dengan mangkuk berisi lauk. Di situlah nantinya kami ambil makan.
Kami disambut Gus Umam, diceritani banyak hal. Adik Gus Baha itu tampak masih santai. Pakai kaus berkerah, tak berpeci.
Sebagai sosok yang juga politisi, Gus Umam tentu saja akrab dengan guyonan rombongan, yang sebagian besar "tukang ketik". Apalagi Gus Umam juga digadang-gadang akan menjadi Calon Bupati Rembang. Hehe.
Sekitar satu jam kemudian, sosok yang ditunggu-tunggu pun datang. Ya, tepat pukul 08.00, Gus Umam menjemput kakaknya yang kayaknya sedang menemani sang ibu. Mereka berdua berjalan pelan menuju kami.
Sampailah di depan mata sosok itu. K.H. Bahauddin Nursalim. Gus Baha. Berkemeja putih, sarung hijau. Tentu, dengan peci yang dipasang agak mundur. Khas.
Rombongan satu per satu mencium tangan beliau. Termasuk pimpinan rombongan, Pak B.
Karena memang tidak memesan materi khusus, apa yang diungkapkan Gus Baha, kiai 50 tahun itu spontan saja. Kebetulan, karena mungkin sedang ramai penundaan umroh di Mekkah, Gus Baha memilih tema umroh cum haji dalam "ngaji" kali ini.
Meski dalam setiap ngajinya Gus Baha sering kali melemparkan guyon, namun rasa-rasanya penulis pribadi belum menemui yang serenyah waktu itu. Mungkin karena berhadapan langsung, jadi terasa lebih gayeng.
Tidak ada satu pun dari 15 orang serombongan itu berani menyela satu kata pun. Suara yang keluar dari mulut mereka hanya tawa dan bisik-bisik kepada sebelahnya. Hanya Direktur yang sedikit menyela, karena memang ditanyai Gus Baha.
Satu setengah jam pun berlalu. Ohya, apa yang disampaikan Gus Baha dalam pertemuan itu bisa disimak di akun youtube Radar Kudus TV. Hehe.
Setelah Gus Baha mencukupkan pertemuan itu, satu per satu anggota rombongan bersalaman lagi. Lalu Direktur meminta foto bersama. Gus Baha bersedia. Dan jadilah foto itu. Foto bersama di depan aula besar Mbah Nur.
Kami pun pulang. Ada perasaan luar biasa di hati penulis. Di bulan Februari lalu, penulis menonton konser Dewa 19 di Yogjakarta. Rasanya amat genbira. Dan sowan kiai seperti Gus Baha rasanya juga sangat berbahagia.
Tapi saya tidak bisa membandingkan rasanya keduanya, karena menurut saya tidak adil. Intinya dua-duanya bikin bahagia.
Sepanjang perjalanan pulang, benar-benar bahagia. Seakan-akan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Mood yang di hari sebelumnya hancur entah oleh apa, tiba-tiba seperti mendapat energi yang luar biasa positif.
Ya, begitulah saudara-saudara. Bertemu orang alim, orang soleh, ternyata membuat hati kita gembira. Dengan gelontoran ilmu yang mencerahkan kehidupan dari beliau.
Semoga Gus Baha panjang umur dan tak lelah menginspirasi kehidupan.
Salam. (ndrw)
Komentar
Posting Komentar