Ramai-Ramai Kecewa kepada Pak Jokowi
DOK. BANG-ANDREW.BLOGSPOT.COM Pak Jokowi (kiri) saat ke Ponpes Al Anwar Sarang pada awal Februari 2019. |
Sebagai warga yang membayar pajak dan memilih Pak Jokowi sebagai presiden pada 2014 lalu, tentu sangat wajar ada kekecewaan terhadap masa pemerintahannya. Sederet keberhasilan membangun infrastruktur tentu saja patut dibanggakan. Tetapi “dosa” beliau terhadap janji-janjinya pada kampanye 2014 sungguh tidak bisa dimaafkan.
Saya pribadi, kekecewaan yang paling parah adalah program
revolusi mental. Pada kampanye 2014, Pak Jokowi selalu menggembar-gemborkan
revolusi mental. Hasilnya hari ini apa? Suasana hari ini tidak ada bedanya
dengan era Pak SBY. Bahkan, ada beberapa aspek yang bisa dinilai justru
mengalami penurunan. Yang paling kentara adalah adanya dua kubu yang tak kunjung
berdamai. Padahal, pemerintah harusnya bisa merangkul semua golongan.
Kekecewaaan yang kedua adalah “ketidakmerdekaan” Pak Jokowi.
Dalam beberapa kebijakan yang seharusnya presiden tampil sebagai orang nomor
satu, nyatanya justru dikoreksi oleh menteri. Kita tentu masih ingat dengan
rencana pembebasan Simbah Abu Bakar Ba’asyir.
Hal itu menyiratkan bahwa Pak Jokowi sebagai presiden tampak
“tidak merdeka”, sekaligus mengamini kalimat yang beberapa kali dilontarkan Ibu
Megawati bahwasanya sang presiden “hanyalah” petugas partai PDIP.
Yang ketiga adalah tentang impor. Dalam kampanye 2014, Pak
Jokowi selalu menggembar-gemborkan banyaknya impor dan berjanji akan
swasembada. Kenyataannya hari ini? Silakan cari di google.
Berikutnya adalah tentang Novel Baswedan dan agenda
penuntasan perkara HAM. Dalam banyak kesempatan, Novel Baswedan sang penyidik
KPK itu sudah berkali-kali mengatakan bahwa pemerintah abai terhadap kasusnya.
Hingga kini, kasus itu sudah berjalan dua tahun, dan apa hasilnya?
Untuk kasus HAM, sebagai contoh kematian Munir dan kasus
1998, sampai di mana sekarang? Bukankah dulu Pak Jokowi sudah sering mengatakan
bahwa kasus HAM bisa diselesaikan di pemerintahannya?
Tentu saja sebenarnya masih banyak kekecawaan terhadap Pak
Jokowi yang bisa dibahas. Seperti tak bisa bahasa Inggris, tak paham sejumlah
hal penting, sering bilang “bukan tugas saya” atau “jangan tanya saja”, dan
banyak yang lain. Tetapi saya berpikir biarlah hal itu dicari sendiri oleh para
pendukungnya di google.
Masalahnya, apakah Pak Prabowo lebih baik?
Seandainya beliau nanti benar-benar menang Pilpres 2019 dan
janji-janjinya tidak ditunaikan, sudah pasti juga saya akan kecewa. Untuk saat
ini, saya tidak bisa mengkritik Pak Prabowo sebagai seorang yang berada di
pemerintahan karena memang belum menjadi presiden. Yang bisa saya kritik adalah
pendukungnya, yang, semoga tidak sama dengan beliau.
Asal-usul penyerangan personal terhadap calon presiden,
menurut saya, dimulai pada 2014 lalu. Dan itu ada di kubu Pak Prabowo. Ya, para
pendukungnya menyerang Pak Jokowi habis-habisan ketika itu. Padahal, Pak Jokowi
pada 2012 adalah orang yang dicalonkan Gerindra dan PDIP dari Solo menuju
gubernur DKI Jakarta.
Hal itulah yang sebenarnya, menurut saya, asal mula
dimulainya hoaks secara masif di Indonesia. Semenjal 2014 hingga saat ini,
cercaan, celaan, hinaan, tak putus-putus hingga saat ini kepada Pak Jokowi. Contohnya
banyak sekali. Jokowi plonga-plongo lah, tak bisa ini-itu lah, apa lah, banyak
sekali.
Dan, hal itu pula yang menurut saya “tak bisa dimaafkan”
oleh mereka yang setia menjadi pendukung Pak Jokowi. Para pendukung Pak Jokowi
yang awalnya selow, akhirnya terbawa, dan di Pilpres 2019 ini tampak berimbang,
menjadi “cebong” untuk menghadapi “kampret”.
Ada banyak sekali kritik terhadap para pendukung Pak
Prabowo. Pernyataan blunder yang berkali-kali datang dari Om Fadli Zon dan
Fahri Hamzah selama hampir lima tahun juga nampaknya membuat mereka yang
sebenarnya kecewa dengan Pak Jokowi, bertahan dengan “gengsi”. Mereka seakan
tak mau dibilang sekubu dengan Bung Fadli dan Bung Fahri.
Contoh-contoh lain tentang keblunderan para pendukung Pak
Prabowo sangat banyak. Tetapi hal itu memang lebih mengarah kepada kepribadian
para pendukungnya. Sebab tak ada bukti otentik Pak Prabowo memberi petunjuk
kepada para pendukungnya untuk mendukung dengan cara demikian.
Lalu, saya kali ini pilih Jokowi atau Prabowo?
Sampai tulisan ini diketik, tanggal 31 Maret 2019, saya
belum mengurus form A5, untuk pindah tempat mencoblos. Padahal hampir
dipastikan pada 17 April 2019 nanti saya berada di Rembang. Sedangkan, TPS saya
ada di Gubug, Grobogan.
Saya tidak tahu apakah akan golput atau tidak. Tetapi
begini, kalaupun saya nanti memilih, satu-satunya alasan untuk datang ke TPS
adalah “kasihan” kepada KPU dan Bawaslu yang sudah mempersiapkan Pemilu dengan
dana triliunan rupiah.
Dan, kalau akhirnya saya memilih golput, itu hak saya.
Salam, 31 Maret 19, 23.59
Komentar
Posting Komentar