Selamat Tinggal Kudus, Saya Dapat Petir Menuju Rembang
Petir itu menyambar saya pada pukul 5 sore, tanggal 31
Agustus 2018. Redaktur pelaksana yang juga mantan wartawan olahraga, Mas Ulin
Nuha meminta saya keluar ruangan redaksi sebentar. Dia menepuk tangan kanan
saya yang sedang mengetik, sembari memberi isyarat untuk keluar ruangan
sebentar dengan sunggingan senyum.
Mas Doni, fotografer kantor sudah mengode-ngode lewat
matanya, yakin bahwa saya akan naik kelas.
Jantung saya berdegup kencang saat Mas Ulin menerangkan apa
yang terjadi di tubuh redaksi. Sesuatu yang sesungguhnya sudah saya tahu. Saya
masih yakin bukan saya yang bakal ditunjuk untuk naik kelas, kendati apa pun keputusan
apa pun nanti akan ada konsekuensi buat saya. Sebab, saya yang dipanggil.
Dan benar saja. Omong-omong di depan pintu lantai tiga
kantor itu ternyata adalah petir yang amat keras menyambar.
“Iki dipandang-pandang, Kholid kan wes cocok dadi redaktur.
Jadi, sampean mulai Senin besok ngganti di Rembang,” katanya sembari terus
menyunggingkan senyum, setelah menerangkan kronologi kejadian yang ada di
kantor.
“Sampean”,-ya, Mas Ulin benar-benar menggunakan kata ganti
‘sampean’, bukan ‘awakmu’, ‘kowe’ atau ‘dirimu’, “sama Kholid kan sebelas dua
belas. Hampir samalah karaktere.”
Jantung saya masih
terus berdegup kencang. Kali ini tangan saya tiba-tiba dingin seperti es.
Kepala juga jadi agak pusing. Entah. Pikiran kemudian kemana-mana.
“Kenapa kok nggak si Nganu (saya menyebut sebuah nama).”
Dia bilang, kabiro Rembang mengaku lebih mending saya
dibanding seseorang yang saya sebut.
Ya begitulah. sesudah itu, saya turun ke lantai satu, buang
air, lalu sholat Asar. Saya memang terbiasa sholat Asar mepet-mepet, sama
seperti kebiasaan Mas Dhuha koordinator lay out, Mas Rokhim kabiro Pati, dan Mas Agus Sulistiyanto-wartawan politik yang
merangkap AE. Haha.
Ada terkejut, sedih, sedikit senang, dan lebih kepada tak
karuan.
Terkejut karena sebelumnya tak terpikir bakal pindah ke
Rembang, sedih karena bakal lebih jauh dari rumah saya yang berada di pelosok
Gubug Grobogan, dan senang karena akan punya pengalaman baru yang menakjubkan.
Sebenarnya, beberapa bulan belakangan ini, saya juga sudah
merasa bosan ngepos di olahraga. Saya menyebutnya itu-itu saja. Sudah tak ada
tantangannya. Sudah suntuk dengan semua ini. Tidak ada teman di kala pagi.
Bahkan saya menyebut diri saya sebagai penikmat gaji buta. Haha.
Ya, bagaimana tidak makan gaji buta. Saya tinggal di mako-markas komando-
wartawan Kudus, atau preesroom, yang letaknya di kawasan pendopo Kudus sudah
setahun. Setiap hari, bangun hampir selalu pukul 9 pagi. Lalu mainan hp, dan
baru mandi jam 10 bahkan belakangan sering jam 11. Baru setelah itu keluar
ruangan. Padahal, jam 1 atau jam 2 sudah ada di kantor. Haha. Benar-benar
parah.
Seorang teman yang bekerja untuk Tribun Jateng, Ghozali,
menyebut saya seharusnya tak perlu repot-repot berada di Kudus tiap hari. Saya,
kata dia, sebaiknya ke Kudus kalau ada pertandingan saja. Seperti wartawan
olahraga lain. sebab, di luar pertandingan, yang dilakukan hanyalah komunikasi
via telepon. Atau, kalau sekarang, ya via WA. Begitulah.
Kalau saya mau, saya bisa saja menghubungi para pelatih itu
jam 8 pagi setiap hari. lalu mengetik berita jam 9 pagi, dan jam 11 siang sudah
terbebas dari penderitaan-penderitaan. Atau sial-sialnya, plus setor foto, ya
jam 1 siang.
Begitulah.
Tetapi, tentu juga ada banyak alasan untuk bersedih. Pertama,
jarak yang menjadi lebih jauh. Bila jarak rumah-Kudus bisa ditempuh kurang
lebih sejam, kini dengan kantor yang baru, rumah-Rembang itu memiliki jarak
sekitar tiga jam. asem.
Kesedihan kedua adalah harus meninggalkan pemuda makosidana.
Pertama-tama adalah Henri Agusta, kontributor Net TV. Dia adalah salah satu
alasan mengapa saya mau-maunya, haha, tinggal di makosidana. Henri, pemuda
sekitar 28 tahun asal Purwokerto itu, kendati punya kos, tapi setiap malam
tidur di makosidana. Alasannya, tak tahu. Paling-paling karena memang komputer
game-nya di sana. Ya, dia adalah gamer garis keras.
Kedua, Rifqi “Nggatheli” Gozali, wartawan Tribun Jateng. Pria
Mranggen yang bakal menikah di tanggal 9 September 2018 itu berada di deretan
teratas teman paling usil sepanjang hidup saya. Setelah saya menyebutnya “kurang
galak” beberapa bulan lalu, saat main PES, dia menjadi orang yang paling parah,
dan sering membully.
Yang paling parah adalah ketika menyekrinsut komentar saya
di fb Ella, teman sekantor yang digosipkan saya taksir. Gara-gara itu, seluruh
dunia, khususnya para anggota PWI Kudus tahu kalau saya memang ada hati untuk
si perempuan Jurang itu. Setelah dan sebelum itu, tentu ada banyak hal-hal
nggatheli yang pernah dia lakukan kepada saya.
Tapi satu hal, dia adalah satu-satunya orang yang paling
sering ngajak ngopi, meskipun belakangan jadi kendor. (Mungkin karena saya
sering ndablek nglimpe nggak ikut iuran di kasir. Hahahha)
Ketiga, Miftahul Umam, wartawan harian Lingkar Jateng. Saya sangat
sreg dengan dia karena dia yang paling nyeni di antara seluruh wartawan di
Kudus. Maklum, dia satu-satunya yang masih aktif di teater, karena baru lulus yu-em-key
kemarin sore. Sebagaimana para pegiat seni lain, pria asal Jepara yang saya
pernah tidur di rumahnya itu, juga sosok yang sangat cair, dan banyak nyambung
diajak ngobrol seni. Satu lagi yang membuat dia juga akhirnya sangat joss, dia justru
yang mengajak saya maiyahan di Jepara pada 30 Agustus 2018 lalu. haha.
Keempat, Dian Utoro Aji, wartawan Murianews.com. Dian,
pemuda jomblo asal Pati itu sebagaimana beberapa teman saya di masa kuliah
dulu, ada di daftar mereka yang ganteng tapi agak nganu sedikit. tetapi,
bagaimanapun, dia harus diapresiasi karena meskipun paling baru di Kudus, dia
adalah sosok yang paling sabar. Meskipun berkali-kali saya memasang muka kecut,
tapi dengan kepolosannya, dia selalu berbaik ke saya, dan juga semua orang
tentu saja.
Terakhir, Yusuf Nugroho alias Lek Ucup, wartawan foto
Antara. Dia ini aneh. Dia bisa di Kudus hanya dua minggu saja kemudian sebulan
di rumah. Entah, dia punya pekerjaan lain apa. Tapi begitulah. Dia ini pintar
memasak, tapi kalau omong ceplas-ceplos tanpa rem.
Di luar enam pemuda yang juga penghuni makosidana itu, masih
ada Mas Anton dari Suara Merdeka yang juga empat kali dalam seminggu menginap
di makosidana, serta Rudi, office boy pemkab yang juga kadang menginap di
makosidana.
Untuk mereka yang lain, Pak Iyang wartawan MNC Grup, Mas
Akrom dari Detik.com, Jamaah yang jadi stringer banyak TV-(haha), Mas Galih TV
One, Mas Budi Metro TV-sang chef, Mas
Dahyal Akbar-caleg yang entah mengapa belum mau menikah, Mas Nasruddin-wartawan
tulis antaranews, Mas Ihwan-wartawan Kompas TV, dan untuk seluruh tumpah darah
Indonesia. Haha.
Juga, untuk mereka yang ada di Persatuan Wartawan Indonesia
Kudus, Mas Annas SM, Mbak Sutini Melati, Mbak Septi SM, Olis rmol, serta
seluruhnya, semoga tetap berjaya di darat, laut dan udara. Haha.
Wartawan kantor, Radar Kudus, Mas Agus, Mbak Santi, Faruq,
Ayuk, Ella, kita akan ketemu kalau ada event kantor. Haha.
Bagaimanapun juga, hidup harus berubah. Seiring mundurnya
Mas Panji dari jajaran redaktur, serta tentu saja Mas Risandi yang telah
mengajariku banyak hal, serta Mas Alan, memang harus ada yang “dikorbankan”. Haha.
Bagaimanapun, semua akan mendapat keindahannya
masing-masing. Doakan saya betah di Rembang dan lekas mendapat jodoh, kalau
bisa mirip-mirip Mbak-mbak Batang, bahkan dia sendiri. Haha. Aminn.
31 Agustus malam-1 September 2018 pagi-saat Henri masih
tidur, dan kami di makosidana hanya berdua.
Tabik.
Komentar
Posting Komentar