Ribut-ribut Denny JA, Ini Pandangan Sarjana Sastra Indonesia: Niat Baik dan Buruk
Nama Denny JA belakangan ini ramai jadi perbincangan di dunia maya. Setidaknya di timeline Facebook saya. Banyak sliwar-sliwer postingan yang membahas konsultan politik yang mengaku sastrawan itu (walau sebenarnya akun itu-itu saja yang membahas).
Melihat Denny JA dan tulisannya yang disebutnya puisi esai serta kiprahnya, saya menyoroti dua hal: niat baik sekaligus niat buruk.
Niat baik Denny harus diapresiasi. Bagaimanapun, tulisan-tulisannya -entah diakui sebagai puisi esai atau tulisan biasa- telah meramaikan jagat penulisan (ika bukan jagat sastra).
Tulisan-tulisan karyanya juga bukan tanpa makna. Walau tak setuju karyanya merupakan genre baru di jagat sastra, tapi terus terang saya terkesan dengan "Sapu Tangan Fang Yin".
Mungkin bentuknya tidak sama sekali baru, tetapi maknanya tetap baik. Sejumlah tulisan lain yang diklaim puisi esai itu juga punya makna yang baik.
Bukankah itu hasil dari niat baik?
Sialnya, perbuatan baik itu dikotori oleh niat tak baik. Orang Islam paham "Innamal a'malu binniyati". Setiap perbuatan bergantung niatnya.
Sekarang kita lihat, apakah perbuatan baik Denny JA itu didasari oleh niat baik? Apakah upaya untuk menggemakan puisi esai memang bertujuan memajukan sastra Indonesia?
Sialnya, jawabannya adalah tidak. Sekali lagi tidak.
Apa yang dilakukan Denny dengan membayar orang untuk menulis karya berhonor jutaan sesuai keinginannya adalah suatu tindakan yang asing. Aneh. Denny tidak membiarkan sesuatu berjalan alami, organik.
Ini menjadi masalah karena niatnya adalah agar sesuatu yang diklaim diceruskannya, puisi esai, diakui secara masif. Dia "menodai" kemurnian sastra yang selama ini berjalan dengan apa adanya.
Karya-karya yang seharusnya menuai apresiasi dikotori oleh niat yang buruk: keinginan akan pengakuan. Denny ingin diakui sebagai sastrawan berpengaruh.
Keinginan itu tidak salah. Tapi manakala keinginan itu diwujudkan dengan menggelontorkan anggaran yang besar agar orang-orang tanda tangan pengakuan bahwa dirinya adalah sastrawan berpengaruh, itu menjadi masalah.
Dengan cara itu, Denny telah "melukai" banyak sastrawan yang selama ini "berdarah-darah" menaiki tangga demi tangga untuk membikin karya yang diakui publik. Denny mengambil jalan pintas dengan gelintoran modal tebal di kantongnya. Apalagi belakangan mengklaim mendapat undangan nominasi Nobel sastra. Disetarakan dengan legenda sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Iuh.
Akhirul kalam, silakan bila Bapak Denny JA tetap begitu. Tapi jangan salahkan para pecinta sastra bila juga tetap di jalan yang ini.
Salam,
alumni Sastra Indonesia Unnes
S. Anwar Gayas
13 Januari 2022
Komentar
Posting Komentar