Pasutri di Blora 48 Tahun Menjadi Perajin Caping
Sehari Dapat Satu, per Buah Dijual Rp 30 Ribu
Diboyong sang suami di usia 16 tahun, Sukarti (64) hingga kini masih setia membuat caping. Bersama suaminya, Joyo Gudel (65), ia bertahan hidup di rumahnya yang sangat sederhana. Meski merupakan pasangan senja, mereka tak sekalipun mendapat bantuan dari pemerintah.
Di atas lantai tanah, Sukarti tampak cekatan menganyam caping yang sudah hampir jadi. Kulit tangan dan seluruh badannya memang sudah keriput, tapi ketrampilan menganyam itu tak luntur sedikit pun.
Berkaus oblong kuning yang sudah lusuh dan berjarit, dia tampak sangat tekun mengerjakan capingnya. Dan begitulah hari-harinya dia habiskan bersama sang suami selama 48 tahun. Aktivitas lainnya di rumah adalah bercengkrama dengan tetangga dan sesekali melayani pembeli di warung mungilnya.
Sesosok pria 65 tahun di sisinya. Dialah Joyo, yang orang-orang biasa memanggilnya sebagai Joyo Gudel. Orangtua Joyolah yang mewariskan pekerjaan perajin caping. Ya, sudah turun-temurun keluarganya menjadi perajin caping.
Sayangnya, pasangan berusia senja ini tak memiliki anak. Mereka menjadi ayah dan ibu dari keponakan yang tinggal di luar desanya. Beruntung, kedua anak angkat itu memberikan perhatian yang baik bagi mereka.
Selain dibelikan motor bebek, rumah mereka yang sangat memprihatinkan juga sebenarnya sudah akan direhab. Namun, karena Pandemi Covid-19 ini, rencana itu ditunda.
”Itu di belakang sudah ada besi banyak. Sebenarnya sudah mau dibangun, tapi situasinya begini kan mana ada orang mau,” kata Sukarti.
Sebuah warung kecil yang menjual sembako memang masih tampak ada di bagian depan rumahnya. Tetapi warung itu rasa-rasanya sudah tak layak lagi disebut warung. Tak ada lagi dagangan berupa beras, bawang merah, bawang putih, atau gula. Rak-rak di warung itu nyaris kosong. Hanya ada di bagian atas mie instan beberapa buah dan minuman botol yang sudah bersawang, semacam sarang laba-laba.
Dalam sehari, bila dikerjakan berdua, sebuah caping dapat diselesaikan. Namun, bila hanya Sukarti, satu caping diselesaikan dalam dua hari. Sukarti mengaku mendapatkan bambu apus pembuat caping itu dari membeli di desa sebelah. Satu bilah bambu berharga Rp 10 ribu. Satu bilah bambu itu bisa dibuat caping hingga tujuh buah.
“Setiap hari, kalau badan sehat, saya buat caping di rumah saja. Saya belajar menganyam ini dari orang tua dan suami,” kata dia.
Di masa pandemi seperti sekarang ini turut memengaruhi penjualannya. Jika sebelumnya,lebih kurang lima hingga enam caping setiap minggu, saat ini hingga satu bulan hanya lima buah pesanan.
"Tapi saya tetap membuat caping tiap hari, untuk stok jika sewaktu-waktu ada pesanan banyak. Biasanya dipesan dari pedagang dari Jatirogo. Caping pesanannya saya antar di tempat biasa pedagang itu datang di Desa Sumurboto. Tapi sudah janjian sebelumnya,” tuturnya.
Yang mengantarkan ke pedagang itu adalah sang suami. Dengan motor bebek yang dibelikan anaknya, dia ke Sumurboto, sebuah desa di Kecamatan Jepon, Blora. Meskipun hidup sederhana, namun keduanya tetap bersyukur bisa berusaha mandiri sampai sekarang.
Mereka bahkan mengaku tak pernah mendapat program bantuan apa pun dari pemerintah setempat. Baik pemerintah desa maupun kabupaten. Namun, mereka mengatakan anyaman bambunya pernah diborong ketika kampanye salah satu calon bupati.
”Dulu pernah diborong sampai 200 atau berapa gitu, lumayan banyak. Ya waktu itu dikerjakan sama tetangga,” kata Joyo Gudel. (*)
PASANGAN PERAJIN CAPING: Sukarti (64) dan Joyo Gudel (65) setia membuat caping di rumahnya di Dusun Bangking, Kelurahan Tambahrejo, Kecamatan Blora. |
Diboyong sang suami di usia 16 tahun, Sukarti (64) hingga kini masih setia membuat caping. Bersama suaminya, Joyo Gudel (65), ia bertahan hidup di rumahnya yang sangat sederhana. Meski merupakan pasangan senja, mereka tak sekalipun mendapat bantuan dari pemerintah.
Di atas lantai tanah, Sukarti tampak cekatan menganyam caping yang sudah hampir jadi. Kulit tangan dan seluruh badannya memang sudah keriput, tapi ketrampilan menganyam itu tak luntur sedikit pun.
Berkaus oblong kuning yang sudah lusuh dan berjarit, dia tampak sangat tekun mengerjakan capingnya. Dan begitulah hari-harinya dia habiskan bersama sang suami selama 48 tahun. Aktivitas lainnya di rumah adalah bercengkrama dengan tetangga dan sesekali melayani pembeli di warung mungilnya.
Sesosok pria 65 tahun di sisinya. Dialah Joyo, yang orang-orang biasa memanggilnya sebagai Joyo Gudel. Orangtua Joyolah yang mewariskan pekerjaan perajin caping. Ya, sudah turun-temurun keluarganya menjadi perajin caping.
Sayangnya, pasangan berusia senja ini tak memiliki anak. Mereka menjadi ayah dan ibu dari keponakan yang tinggal di luar desanya. Beruntung, kedua anak angkat itu memberikan perhatian yang baik bagi mereka.
Selain dibelikan motor bebek, rumah mereka yang sangat memprihatinkan juga sebenarnya sudah akan direhab. Namun, karena Pandemi Covid-19 ini, rencana itu ditunda.
”Itu di belakang sudah ada besi banyak. Sebenarnya sudah mau dibangun, tapi situasinya begini kan mana ada orang mau,” kata Sukarti.
Sebuah warung kecil yang menjual sembako memang masih tampak ada di bagian depan rumahnya. Tetapi warung itu rasa-rasanya sudah tak layak lagi disebut warung. Tak ada lagi dagangan berupa beras, bawang merah, bawang putih, atau gula. Rak-rak di warung itu nyaris kosong. Hanya ada di bagian atas mie instan beberapa buah dan minuman botol yang sudah bersawang, semacam sarang laba-laba.
Dalam sehari, bila dikerjakan berdua, sebuah caping dapat diselesaikan. Namun, bila hanya Sukarti, satu caping diselesaikan dalam dua hari. Sukarti mengaku mendapatkan bambu apus pembuat caping itu dari membeli di desa sebelah. Satu bilah bambu berharga Rp 10 ribu. Satu bilah bambu itu bisa dibuat caping hingga tujuh buah.
“Setiap hari, kalau badan sehat, saya buat caping di rumah saja. Saya belajar menganyam ini dari orang tua dan suami,” kata dia.
Di masa pandemi seperti sekarang ini turut memengaruhi penjualannya. Jika sebelumnya,lebih kurang lima hingga enam caping setiap minggu, saat ini hingga satu bulan hanya lima buah pesanan.
"Tapi saya tetap membuat caping tiap hari, untuk stok jika sewaktu-waktu ada pesanan banyak. Biasanya dipesan dari pedagang dari Jatirogo. Caping pesanannya saya antar di tempat biasa pedagang itu datang di Desa Sumurboto. Tapi sudah janjian sebelumnya,” tuturnya.
Yang mengantarkan ke pedagang itu adalah sang suami. Dengan motor bebek yang dibelikan anaknya, dia ke Sumurboto, sebuah desa di Kecamatan Jepon, Blora. Meskipun hidup sederhana, namun keduanya tetap bersyukur bisa berusaha mandiri sampai sekarang.
Mereka bahkan mengaku tak pernah mendapat program bantuan apa pun dari pemerintah setempat. Baik pemerintah desa maupun kabupaten. Namun, mereka mengatakan anyaman bambunya pernah diborong ketika kampanye salah satu calon bupati.
”Dulu pernah diborong sampai 200 atau berapa gitu, lumayan banyak. Ya waktu itu dikerjakan sama tetangga,” kata Joyo Gudel. (*)
Komentar
Posting Komentar