Membedah Suluk Pepali Ki Ageng Selo
NGURI-URI BUDAYA: Suyadi alias Pak Raden memaparkan pepali Ki Ageng Selo di Masjid Ki Ageng Selo, Desa Selo, Tawangharjo, Grobogan, Kamis (6/2) malam.
GROBOGAN - Suluk Pepali Ki Ageng Selo diyakini masih relavan diterapkan di kehidupan modern saat ini. Kendati kelahiran karya agung tersebut, mengacu pada kehidupan Ki Ageng Selo, yakni sekitar abad ke-16, namun ajaran pokok dalam pepali tersebut bisa menyesuaikan diri.
Hal itulah yang menjadi bahasan Majelis Selapanan Lesbumi NU Grobogan di masjid kompleks makam Ki Ageng Selo, di Desa Selo, Tanggungharjo, Kamis (6/2/2020) malam. Sebagai pembedah, yakni Suyadi alias Pak Raden yang juga pemimpin Padepokan Adem Ayem, dan seorang penulis Grobogan Jumadi dan Kiai Rohib.
Pak Raden memaparkan Suluk Pepali Ki Ageng Selo merupakan tuntunan hidup dari lahir sampai mati. Baik itu sebagai rakyat, pemimpin, atau apa pun juga. Pepali tersebut pun menunjukkan kekayaan khazanah budaya nenek moyang masyarakat Jawa, khususnya Grobogan.
”Setelah saya teliti, saya pelajari, isinya itu perintah (atau ajaran) sejak dalam kandungan sampai mati. Menjadi pemimpin harus begini, jadi orang kalangan bawah harus begini,” kata dia di hadapan jamaah yang hadir.
Pepali Ki Ageng Selo ada sebelas. Yakni maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dandanggula, durma, pangkur, megatruh, dan pocung. Kesebelas prinsip tersebut diwujudkan dalam tembang yang dikenal sebagai mocopat.
”Urutan atau watak tembang mocopat yang pertama itu bukan pocung, tapi maskumambang. Ternyata mas itu nyawa atau ruh yang masih dalam kendungan. Mas yang masing kumambang (mengambang). Setelah diberi nyawa oleh Allah, lalu keluar, mijil. Mijil artinya keluar,” paparnya. (ndrw)
GROBOGAN - Suluk Pepali Ki Ageng Selo diyakini masih relavan diterapkan di kehidupan modern saat ini. Kendati kelahiran karya agung tersebut, mengacu pada kehidupan Ki Ageng Selo, yakni sekitar abad ke-16, namun ajaran pokok dalam pepali tersebut bisa menyesuaikan diri.
Hal itulah yang menjadi bahasan Majelis Selapanan Lesbumi NU Grobogan di masjid kompleks makam Ki Ageng Selo, di Desa Selo, Tanggungharjo, Kamis (6/2/2020) malam. Sebagai pembedah, yakni Suyadi alias Pak Raden yang juga pemimpin Padepokan Adem Ayem, dan seorang penulis Grobogan Jumadi dan Kiai Rohib.
Pak Raden memaparkan Suluk Pepali Ki Ageng Selo merupakan tuntunan hidup dari lahir sampai mati. Baik itu sebagai rakyat, pemimpin, atau apa pun juga. Pepali tersebut pun menunjukkan kekayaan khazanah budaya nenek moyang masyarakat Jawa, khususnya Grobogan.
”Setelah saya teliti, saya pelajari, isinya itu perintah (atau ajaran) sejak dalam kandungan sampai mati. Menjadi pemimpin harus begini, jadi orang kalangan bawah harus begini,” kata dia di hadapan jamaah yang hadir.
Pepali Ki Ageng Selo ada sebelas. Yakni maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dandanggula, durma, pangkur, megatruh, dan pocung. Kesebelas prinsip tersebut diwujudkan dalam tembang yang dikenal sebagai mocopat.
”Urutan atau watak tembang mocopat yang pertama itu bukan pocung, tapi maskumambang. Ternyata mas itu nyawa atau ruh yang masih dalam kendungan. Mas yang masing kumambang (mengambang). Setelah diberi nyawa oleh Allah, lalu keluar, mijil. Mijil artinya keluar,” paparnya. (ndrw)
Komentar
Posting Komentar