Setuju Gus Dur, Setuju Kiai Said

Kiai Said, poto nyomot di Facebook. hehe. 
Wallpaper hp pada poto di bawah ini sudah penulis pakai kurang lebih setahun. Kira-kira beberapa hari setelah "Ulil Radar" selesai ditugaskan di Blora setahun lalu. Ada ceritanya sendiri. Hehe.


Penampakan wallpaper handphone penulis hingga saat ini. hehe. 

Penulis dengan kaus Gus Dur. hehe. Desember 2019





























Pertanyaannya, mengapa Gus Dur dan Bung Karno di bawah sedangkan Cak Nun di atas? Jawaban pertama, suka-suka yang bikin lah. Jawaban kedua, ya karena yang atas masih sugeng, terserah-serah kami pemakainya lah pertimbangannya.
Lalu pertanyaan kedua, mengapa dari status-status Anda-misalnya ada yang tanya-seakan-akan tidak suka (atau mungkin ada yg beranggapan anti) NU?
Tentu saja tidak ada jawaban resminya. Tetapi demi pembelaan sedikit, agar prasangka tidak mengembang, ada lah klarifikasi. (nggaya, haha)
Sudah barang tentu tidak mungkin penulis tidak NU (meskipun cuma NU kultural). Sejak Madin sampai MTs (kalau tak salah), penulis menerima pelajaran Ke-NU-an. Sebagaimana anak-anak Muhammadiyah ada pelajaran Ke-Muhammadiyahan.
Lingkungan penulis juga sangat NU. Orangtua, saudara, teman, sahabat, kakek buyut, tetangga, hampir seluruhnya NU. Rasa nge-N-U (baca: nge en u) sudah tentu sangat dalam tertanam dalam jiwa penulis.
Lalu mengapa? Bukankah orang NU harus menghormati kiai, siapa pun itu?
Hellow... kapan penulis mencaci maki kiai? Hellow...
Pertanyaan baliknya, apakah NU kultural wajib sami'na waatho'na siapa pun pemimpin NU? Bolehkah menyatakan tidak setuju terhadap sikap-sikapnya?



Dengan tetap mengakui keilmuan beliau-beliau?

Setidaknya sudah dua kali penulis melihat pasuryan Kiai Said Aqil secara langsung. Pertama yakni saat beliau membuka konferwil NU Jateng di Ngroto, Gubug, Grobogan pada Juli 2018 lalu. Kedua, saat beliau menghadiri peringatan tujuh hari wafatnya Mbah Moen di Sarang, Rembang pada Agustus 2019 lalu.
Saat di Sarang, penulis kebetulan kurang memperhatikan ceramah beliau. Tetapi penulis cukup memperhatikan apa yang beliau samlaikan saat di Grobogan.
Ketika itu, Kiai Said sempat ceramah dengan bahasa Arab, yang sebagian besar-kalau bukan seluruhnya-penulis tidak paham maksudnya. Namun, dari paparannya tampak bahwa beliau merupakan sosok yang sangat luas dan dalam ilmu pengetahuannya. Sudah tentu banyak juga yang mengakuinya.
Nah, pertanyaan berikutnya, dengan keilmuan yang tinggi itu, apakah otomatis beliau punya sertifikasi untuk diikuti atau disetujui sikap dan perilakunya oleh seluruh warga NU (lebih-lebih yang kultural)? Adakah aturannya? Apakah otomatis yang tidak setuju kebijakannya auto masuk neraka?
Terus terang penulis sedih dengan tuduhan (jika memang ada) bahwa penulis termasuk mereka yang menyesat-nyesatkan, meliberal dan sekulerkan Kiai Said. Meskipun tak ada yang secara langsung, artikulatif menyatakan demikian, namun sikap kelompok ini tampak yakin bahwa penulis memang demikian.
Begini saudaraku, penulis mengakui keilmuan HRS, terlepas dari beberapa kasus yang membelitnya-termasuk kasus chat mesum yang menghebohkan itu. Namun apakah penulis setuju dengan pendapat dan pemikkran HRS? Sebagian besar tentu saja tidak setuju. Apalagi HRS sempat menyebut Gus Dur yang terkait dengan kekurangan fisiknya.
Tetapi apakah tidak ada satu pun yang disetujui? Tentu saja ada pemikiran dan sikap HRS yang penulis setujui. Terutama terkait dengan pertolongan bencana.
Nah, begitu pula dengan Kiai Said. Tentu banyak kebijakan beliau yang penulis setujui. "Sialnya", ada beberapa hal kebijakannya yang sangat tidak penulis setujui, yang "sialnya lagi" cukup mendasar: kecenderungan keberpihakan pada pemerintah, beberapa waktu lalu, utamanya saat pemilu.
Sebagaimana publik ketahui, Gus Dur berada di kubu oposisi di rezim Pak Harto, Orde Baru. Saat tidak menjadi oposisi, Gus Dur adalah presidennya. Menurut hemat penulis, sudah semestinya Kiai Said juga "melanjutkan estafet sikap oposisi" sebagai pemimpin NU, siapapun penguasanya, sebagaimana Gus Dur waktu itu.
Sesederhana itu sebenarnya: mengapa Kiai Said tidak bersikap oposisi sejak dulu? Malah baru tampak beroposisi setelah "mahar pilpres 2019" tidak jadi cair?
Penulis sebenarnya sudah mencium aromanya sejak dulu, bahwa NU hanya dijadikan batu pijakan oleh oligarki untuk berkuasa. Masih ingat berita Kiai Maruf Amin yang tak dilibatkan penyusunan kabinet Jokowi jilid 2?
Akhir kata, kalau Kiai Said setia beroposisi dengan pemerintah sebagaimana yang dilakukan Gus Dur dulu, penulis akan terus setuju kebijakannya. Tentu saja tidak hanya di rezim Jokowi, tetapi berlanjut hingga setelahnya, dan setelahnya lagi. Sebab, menurut hemat penulis, dalam sistem demokrasi seperti sekarang ini, ormas-ormas besar harus mengawal pemerintahan dengan menjadi oposisi, bukan koalisi. 
Tapi, pertanyaannya, hellow.. siapakah penulis? Apa pengaruhnya? Hahaha. 
Belakangan ini, Kiai Said santer mengkritik pemerintahan Jokowi dengan menyebut negara ini dikuasai oleh orang yang punya duit, dikuasai oligarki. Terlepas dari apakah kritikan itu berkaitan dengan tidak (atau belum) cairnya anggaran Rp 1,5 T ke PBNU atau bukan, penulis mendukung sepenuhnya pernyataan tersebut. Dan, sebagaimana telah disebutkan di atas, penulis akan selalu mendukung kepemimpinan Kiai Said saat beliau terus menjadi oposisi, dengan terus mengkritik atau minimal tidak memuji pemerintahan. 
Terakhir, menurut hemat penulis, pemerintahan baru layak dipuji kalau melakukan hal yang luar biasa, melampaui kewajibannya. Nah, selama itu belum terwujud, meskipun kebijakannya itu memang baik bagi rakyat, pemerintah tidak layak mendapat pujian. Karena, memang mereka dibayar dengan uang rakyat, dengan pajak untuk itu. 

Salam. 
Bang Andrew

Desember 2019


Note: apabila ada yang sekiranya perlu diperbaiki, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya, dengan tetap mempertahankan maksud yang terkandung secara keseluruhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi