Pelajaran dari Pak An
Ada banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dalam setiap peristiwa.
Kau tahu? Tanggal 24 September 2018 aku menemani seorang pria sedih berusia lima puluhan. Namanya Pak An.
Pria asal Semarang itu sudah sekian Minggu sakit. Tak main-main, penyakitnya TBC. Setelah dioperasi sekitar tiga Minggu lalu, dia rencananya bakal dioperasi lagi Senin tadi pagi. Tapi pihak rumah sakit menyatakan tak punya pisau bedah untuk operasi kedua ini.
Ohya, operasi kedua ini yakni untuk menutupi luka di leher Pak An dengan kulit di paha kanannya.
Pak An tipe manusia pengeluh, pemberontak. Meskipun sedang sakit parah, jiwa pemberontaknya tak padam sedikit pun.
Perawat bingung mau berbuat apa. Pak An yang adalah wartawan senior sangat tahu prosedur penanganan pasien. Dia merasa tak diperlakukan sebagaimana mestinya dan dia terus berbicara keras pada para perawat, yang menurutnya banyak diisi anak magang.
Tangan kirinya bengkak karena mungkin terlalu banyak disuntik untuk infus. Ya, barangkali perawat berkali-kali gagal menemukan urat nadi. Sialnya, ketika perawat akan mengalirkan infus dari lengan kanan, Pak An menolak. Dia menyebut tangan kanannya untuk banyak untuk penyangga aktivitas sehingga tak mungkin diinfus yg gerakannya akan terbatas.
Sebenarnya yang saya ingin kabarkan kepada kalian adalah ini: orang yang menanam, pasti memanen.
Di usia Pak An yang sekitar kepala lima itu, para penunggunya di rumah sakit ini bukan keluarganya. Dia bercerita saudaranya di tempat yang jauh. Satu di Brebes, satu lagi di Pacitan. Sementara dia tinggal di sebuah kota yang jauh dari keduanya. Dan, kau tahu? dia tak pernah menikah. Tak pernah punya istri.
Satu-satunya saudaranya di sini adalah keponakannya, yang sialnya Pak An juga tak cocok dengan perlakuannya. (Meskipun saya lebih menduganya karena sikap tukang pemberontak Pak An). Keponakannya akhirnya tampak seperti tak peduli. Barangkali pernah tersakiti karena sikap keras Pak An.
Jadilah, orang-orang yang menemaninya adalah teman-teman yang sehari2 banyak berinteraksi dengannya. Selain saya, seorang lagi yang menungguinya di rumah sakit ini adalah Mas Se, penjaga warung langganan Pak An.
Begitulah, keponakannya bahkan tak juga berkunjung hingga hari ketiganya tak menjenguk, meskipun dia satu-satunya yang membubuhkan tanda tangan sebagai penanggung jawab Pak An.
Lalu, bagaimana cerita ini akan berlanjut?
Kau tahu? Tanggal 24 September 2018 aku menemani seorang pria sedih berusia lima puluhan. Namanya Pak An.
Pria asal Semarang itu sudah sekian Minggu sakit. Tak main-main, penyakitnya TBC. Setelah dioperasi sekitar tiga Minggu lalu, dia rencananya bakal dioperasi lagi Senin tadi pagi. Tapi pihak rumah sakit menyatakan tak punya pisau bedah untuk operasi kedua ini.
Ohya, operasi kedua ini yakni untuk menutupi luka di leher Pak An dengan kulit di paha kanannya.
Pak An tipe manusia pengeluh, pemberontak. Meskipun sedang sakit parah, jiwa pemberontaknya tak padam sedikit pun.
Perawat bingung mau berbuat apa. Pak An yang adalah wartawan senior sangat tahu prosedur penanganan pasien. Dia merasa tak diperlakukan sebagaimana mestinya dan dia terus berbicara keras pada para perawat, yang menurutnya banyak diisi anak magang.
Tangan kirinya bengkak karena mungkin terlalu banyak disuntik untuk infus. Ya, barangkali perawat berkali-kali gagal menemukan urat nadi. Sialnya, ketika perawat akan mengalirkan infus dari lengan kanan, Pak An menolak. Dia menyebut tangan kanannya untuk banyak untuk penyangga aktivitas sehingga tak mungkin diinfus yg gerakannya akan terbatas.
Sebenarnya yang saya ingin kabarkan kepada kalian adalah ini: orang yang menanam, pasti memanen.
Di usia Pak An yang sekitar kepala lima itu, para penunggunya di rumah sakit ini bukan keluarganya. Dia bercerita saudaranya di tempat yang jauh. Satu di Brebes, satu lagi di Pacitan. Sementara dia tinggal di sebuah kota yang jauh dari keduanya. Dan, kau tahu? dia tak pernah menikah. Tak pernah punya istri.
Satu-satunya saudaranya di sini adalah keponakannya, yang sialnya Pak An juga tak cocok dengan perlakuannya. (Meskipun saya lebih menduganya karena sikap tukang pemberontak Pak An). Keponakannya akhirnya tampak seperti tak peduli. Barangkali pernah tersakiti karena sikap keras Pak An.
Jadilah, orang-orang yang menemaninya adalah teman-teman yang sehari2 banyak berinteraksi dengannya. Selain saya, seorang lagi yang menungguinya di rumah sakit ini adalah Mas Se, penjaga warung langganan Pak An.
Begitulah, keponakannya bahkan tak juga berkunjung hingga hari ketiganya tak menjenguk, meskipun dia satu-satunya yang membubuhkan tanda tangan sebagai penanggung jawab Pak An.
Lalu, bagaimana cerita ini akan berlanjut?
Komentar
Posting Komentar