Desember yang Dingin
Kita adalah bulan november yang menunggu:
Seorang pemuda di ujung kabupaten ingin membaca lebih banyak
buku, sedangkan orangtuanya melarang membeli buku. Seorang pria ingin bunuh
diri dengan pikirannya yang rumit. Seorang lelaki yang sudah ditanyai semut
merah, kapan mengakhiri solo karier?
Desember yang basah melindungi seorang pria miskin, janda
miskin, dan penggembala kambing yang tersesat. Bulan ketika jiwa-jiwa sedih
terus gundah gulana dan menyisakan sesal demi sesal. Anak-anak buta membaca
kitab Tuhan di sudut kelas.
Dia ingin terus membaca teks. Tapi sesungguhnya dia tahu,
ada yang lebih bisa dibaca daripada teks. Mata anak-anak dari langit
mengalirkan teks, ilham-ilham, karomah, maunah, dan kebanyakan manusia buta.
Seseorang diwajibkan tahu banyak hal dan dia dilarang
mengumumkannya. Seseorang harus menjadi cecunguk dan dia tak bisa menghindar.
Seseorang diwajibkan menjadi bajingan sekaligus agamis. Seseorang wajib membuat
mulutnya berbusa dan membungkuk-bungkuk di depan peti mati.
Idealisme dibunuh dengan dingin, sebelum mampu merangkak.
Anak-anak miskin berduyun-berduyun mementaskan kesedihan.
Para pejabat bermain teater, merenggut hati rakyat, menyelipkan jalan raya ke
kantong para demonstran.
Kita tak bisa mencari tema kehidupan, sastra adalah caption
kehidupan itu sendiri, bahkan ketika tak ada manusia lagi.
Komentar
Posting Komentar