Sebaiknya Saya Berhenti Menjual Cilok?



Seorang teman menyarankan bahwa saya sebaiknya berhenti bermimpi menjadi penulis. Sebab, saya menurutnya tidak memiliki bakat menulis. Hal itu terlihat dari kemalasan saya untuk menulis dari hari ke hari yang semakin memprihatinkan. Bahkan, ketika usia saya mendekati usia Chairil Anwar ketika wafat, tak ada satu pun tulisan yang patut untuk dibanggakan.
Kata teman saya itu, saya hanya bisa menulis ketika sedang jatuh cinta. Padahal, tidak mungkin orang jatuh cinta setiap hari dengan orang yang berbeda.  Nah, karena alasan itu, dengan mempertimbangkan waktu yang sia-sia buat merenungkan kisah yang akan dibuat, dan sebaiknya waktu yang baik itu bisa digunakan untuk hal bermanfaat lain, maka dia berpendapat  saya berhenti bercita-cita menjadi penulis.
Teman saya itu bukan penulis. Tetapi, dia memiliki potongan yang lebih penulis ketimbang saya. Dia berkacamata, kurus, dan setiap hari tangannya memegang buku yang berbeda-beda untuk dibaca setiap kali ada sedikit saja waktu senggang-semenit sekali pun. Ditambah, dia juga seorang yang punya banyak kenalan peneliti yang sering menganalisis berbagai hal. Tentu, referensinya tentang berbagai hal sangat banyak. Mulai dari film produksi luar negeri maupun manca, tentang lagu-lagu, politik, pendidikan, sastra pun dia paham. Tapi, saya tak paham, mengapa dia tidak tertarik menjadi penulis.
Saya juga tak paham, mengapa dia bersikeras agar sebaiknya saya jualan cilok saja. Karena, bapak-bapak penjual cilok di sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah saya, sudah meninggal dunia lima bulan lalu dan tak ada yang menggantikannya. Katanya lagi, kasihan anak-anak sekolah yang menunggu pengganti penjual cilok yang wafat karena komplikasi itu.
Dia terus nerocos, tak ada warga kampung lain yang cocok berjualan cilok selain saya. Selain wajah saya yang tampak selalu kusut, saya juga cukup sabar untuk meladeni kelakuan anak-anak. Maka, dengan kalimat yang sangat meyakinkan, dia benar-benar membuat statemen yang membikin hati saya tertohok: menjual cilok, sementara ini lebih baik ketimbang bercita-cita menjadi penulis.
Anehnya, kalimat-kalimatnya yang meluncur usai salat Jumat itu, tak ada yang saya bantah satu pun. Dan, saya seperti terhipnotis.. Empat hari setelahnya, saya sudah punya gerobak yang siap untuk saya buat jualan. Dan, di hari Jumat berikutnya, saya sudah ngetem di depan gerbang sekolah untuk menunggu anak-anak membeli cilok saya.
Ternyata hasilnya cukup lumayan. Belum sampai jam sebelas, cilok saya telah habis. Semangat saya pun naik dua kali lipat. Saya langsung pulang dan meminta ibu saya membikinkan cilok lagi untuk dijual sore nanti. Akan ada banyak anak-anak yang bermain sepakbola di lapangan-lapangan sekitar kampung. saya yakin, cilok saya akan laris lagi.
Saya berangkat lagi sekitar setengah empat seusai salat Asar. Dengan sepeda motor Supra tahun 2001, saya berkeliling ke kampung yang terdapat lapangan di sana. Alhamdulillahnya, anak-anak kampung itu segera menyerbu dan membeli cilok-cilok saya. Saya ke lapangan di kampung  lain dan hasilnya juga sama. Mereka langsung berhamburan ke arah saya dan membeli minimal dua plastik. Menjelang Maghrib, dagangan saya sudah habis.
Sesudah salat Isya, saya mengirim pesan lewat wastapp ke teman saya. Beribu-ribu terima kasih saya ucapkan kepadamu, cilok saya sukses. Kata saya. Dia membalas dengan smiley senyum dengan didahului Alhamdulillah.
Hari kedua, ketiga, saya lanjutkan berjualan cilok. Hasilnya masih laris manis. Pagi dan sore. Hari keempat, kelima, hingga seminggu kemudian, meski tidak habis, tapi saya tetap puas. Karena yang tak laku hanya sedikit. Cilok yang tak terjual itu saya buat lauk bersama adik-adik dan ibu bapak.
 Baru pada Minggu kedua, ada yang terasa mengganjal di hati saya. Sesuatu yang terasa tidak enak. Saya merenung sebentar. Lalu saya memutuskan untuk tidak berjualan dulu di hari itu.
Duduk di depan komputer, saya lalu menyalakannya. Saya bersandar di kursi dan menerawang. Lalu saya membuka microsoft word, dan menuliskan sebuah kalimat. Dan kalimat-kalimat berikutnya meluncur begitu saja. Jadilah, satu paragraf agak panjang, dua paragraf, lalu tiga.
Saya membaca ulang tulisan itu. Ternyata agak lumayan. Saya pun meneruskan paragraf berikutnya. Ternyata nafsu menulis saya sedang menggebu-gebu. Meski agak macet di pertengahan, tapi akhirnya saya bisa menyelesaikan sebuah cerita.
Sungguh ajaib. Selesai saya menuliskan sebuah cerita itu, semangat saya berjualan bangkit lagi. Lalu hari berikutnya saya berangkat lagi, berangkat lagi, hingga tujuh hari kemudian. Pada hari ke delapan, semangat saya luntur lagi. Ketika saya merenung di depan komputer, teman saya tiba-tiba nongol.
“Lho kok malah semedi lama-lama, Ndan?”
 “Dewi Quan Im belum datang.”
“What?”
................

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi