Dendra dan Nina

Dendra dan Nina telah membaca puisi-puisi Afrizal Malna dan kini kepala mereka berdarah-darah karena dibenturkan ke tembok berkali-kali dalam 9,8 skala richter:
Puisi telah membunuh pedagang asongan, para pelacur, dan masinis yang sedang berlayar di rel kereta. Antara kejam dan sedih, puisi membangun jembatan untuk para dokter dan pengacara yang sedang menari di kamar mandi dalam rumah mister kapitalisme. Puisi telah membunuh kepala dinas kesedihan di sebuah kota bunuh diri. Puisi membunuh anak band yang tak punya ayah, membunuh anak kos dan ibu kos, menguliti supir angkot dan supir bis yang terlibat percekcokan. Puisi telah membius driver gojek dan penumpangnya dalam sebuah jamuan makan malam di rumah presiden kesepian. Puisi telah berguru di puncak gunung semeru untuk membunuh kapitalisme, tapi puisi tidak kuat menahan tiga hari, dan ia pulang dengan kegagalan menenteng tas berisi kapitalisme.
Puisi telah membunuh dengan kejam para jurnalis dalam ketiak kapitalisme. Kapitalisme telah membunuh puisi dalam mulut seorang walikota. Gubernur telah dibunuh puisi, seperti kapitalisme membunuh puisi. Dan para menteri, kurator, juga penjual jagung serut rapat untuk menentukan kiamat puisi dan kapitalisme. Puisi tak bisa mati begitu saja. Puisi tak punya nyawa atau punya stok nyawa lebih banyak daripada stok kematian. Presiden telah mangkat dalam tidur yang tak pernah bangun di hadapan tukang kayu berwajah lusuh. Presiden tidak ikut rapat dalam pertemuan berwindu-windu dengan seorang perompak dan penjual nasi goreng di lampu merah. Presiden telah mati dibunuh puisi dengan tangan kapitalisme.
Seorang lurah sedang bunuh diri dan semakin hari semakin percaya diri. Seorang bupati sarapan kapitalisme dan puisi telah merontokkan seluruh imannya. Seorang kepala sekolah mencuri celana seorang mahasiswi bersama dosen mata kuliah kapitalisme. Seorang dosen tak bisa membuat facebook dan twitter karena tak mau dibunuh kapitalisme dan puisi. Seorang pegawai puisi menyetir jauh sekali dan berhenti di perempatan lampu petromak. Puisi telah mengundang seluruh semut di muka bumi untuk membunuh kapitalisme. Semut-semut itu kini menjadi agen kapitalisme paling efektif, menidurkan para kiyai kampung, ustad-ustad bersorban air mata, dan ulama-ulama yang berpeci kapitalisme.
Lalu, kita. Sedang menunggu kapitalisme bunuh diri. Hingga kita menyantap setiap iman yang tersisa, setiap ketulusan yang masih tumbuh, dalam sebuah makan pagi bersama tuan besar kapitalisme.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi