Catatan Perjalanan Menembus Gusmus

Hari itu Jum’at. Hari keenam puasa. Sesuai rencana beberapa hari sebelumnya, saya dan Si Bang Zae, mas2e ketua bem kae, akan menembus kota Rembang, untuk menemui-sowan- Gusmus. Kami berangkat sekitar pukul 14.15 WIB dari PKM FBS Unnes. Sebelum berangkat, kebetulan seorang dosen lewat-dosen yang mengharuskan kami untuk menjelajah Pantura untuk mencapai seorang kiyai yang juga sastrawan dan budayawan itu: Pak Burhanuddin. Perlu ditekankan di sini bahwa, kami sowan ke Gusmus adalah untuk memenuhi tugas Antropologi Sastra. Tugasnya adalah: wawancara tentang latar belakang kepenulisan seorang sastrawan. Kebetulan kami kebagian-yang menurut kami paling susah ditemui-GusMus.
Anehnya, kami tidak menjelaskan pada pak dosen itu kalau kami akan berangkat ke-suatu kota yang menurut saya, jauh-bernama Rembang, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliahnya. Pak dosen itu hanya senyum sedikit dan menyapa si ketua BEM: Wes buko din? Jawab ketua bem kita: Ngko, Asyar Pak. Kami bertiga senyam-senyum pada angin.
Alkisah, kami sudah hampir tiga jam perjalanan. Setelah melewati Demak, Kudus, Pati, kami berhenti di suatu masjid yang sedang dibangun, di Juwana. Di sana, kami berhenti untuk menunaikan sholat Asyar. Waktu itu sudah pukul 17.00 kurang sedikit menit. Saya yang sejak dari pom bensin Sampangan nyetir, tubuh saya seperti ada mesinnya. Karena kami nyaris tidak istirahat selama tiga jam itu, kecuali mencurinya di detik2 lampu merah. Tangan saya seperti pralon kalau dipukul. Mbenginging, kalau bahasa kampung saya. Mungkin efek tidak sahur berpengaruh juga. (Ya, sebenarnya untuk pertama kalinya dalam sejarah juga: saya tidak sahur di bulan Ramadhan, dan puasa full. Dan hari itu pula, harus menjadi seorang musafir yang menempuh jarak tidak kurang dari 100 km dengan sepeda motor (agak) klasik kesayangan saya itu)
Saya katakan pada rekan saya itu kalau saya harus gantian di belakang. Dia setuju. Setengah jam kemudian, tepat beberapa menit sebelum maghrib tiba, kami sampai di masjid agung Rembang-kalau tidak salah. Di depan alun-alun kota Rembang. Kami berbuka dengan ta’jil di masjid. Selepas sholat, kami makan di alun-alun. Cukup kaget ketika kami akan membayar menu yang sudah kami makan, karena harus merogoh kocek agak dalam. Saya pesan capjay goreng plus esteh dan rekan saya makan ayam bakar plus esteh plus krupuk pula-kalau tak salah lagi. Hampir lima puluh ribu. Ketika membayar itu juga, kami bertanya pada penjual perihal alamat pondok Raudhatul Tholibin, tempat Abah (Gusmus) tinggal dan mendidik para santrinya.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di lokasi yang dituju. Turun dari motor, kami menyalami sejumlah remaja yang duduk-duduk di sekitar gang yang di sebuah sisinya terdapat papan bertuliskan pondok Raudhotul Tholibin itu. Sebuah desa bernama Leteh, tidak jauh dari alun2 Rembang. Setelah bertanya, kami diarahkan untuk bertanya pada seorang yang para santri sana menyebutnya sebagai Qodam (orang yang diangkat anak), dan belakangan kami tahu namanya Nasir-kalau tak salah ingat.
Kami diarahkan ke kantor sekretariat pondok. Kami menjelaskan maksud dan tujuan kami, dan dia menjelaskan aturan Abah kalau di bulan Ramadhan- yang belakangan membuat kami sedikit merasa agak kecewa: “Begini, Mas, Abah itu kalau bulan Ramadhan, seperti sekarang ini, full untuk keluarga dan santrinya. Jadi, benar-benar tidak bisa diganggu. Kemarin ada wartawan dari Jawa Timur, dari Posmo kalau tidak salah. Mau sowan Abah juga. Tidak bisa juga. Pokoknya selama sebelas bulan kan sudah untuk orang banyak. Khusus sebulan ini untuk keluarga dan santri.” Begitu kurang lebih penjelasan laki-laki yang kira-kira tubuhnya tidak lebih tinggi dari kami itu. Kami berpandangan, sambil menghela nafas, dan menelan ludah.
“Mau bagaimana lagi?” seolah tatapan itu memberikan pengertian demikian.
Setelah mengobrol sekenanya,  dia pamit karena waktu Isya sudah tiba. Rekan saya malah mengajak langsung pulang. “Lha, mau ngapain lagi? Tidak bisa ketemu kok.” Wajahnya menyiratkan kalimat demikian. Saya melobinya. “Mbokya minimal ikut taraweh di sini dulu. Masak baru datang, langsung pergi begitu saja.” Walau agak berat, rekan saya setuju. Lalu kami taraweh di situ. Di aula pondok yang berada tepat di samping dalem Abah (Gus Mus). (Sesuai adat di pesantren, kiyai sepuh, biasanya pemilik pondok, selalu dipanggil Abah)
Lalu kami sholat taraweh di sana. Usai sholat taraweh, rekan saya itu mengajak pulang. saya melobi lagi. “Ikut ngaji sekalian lah.” Tapi rekan saya mrengut. Saya berargumen banyak. Akhirnya ia pasrah. Kami ikut mengaji walau dari kantor sekretariat. Karena menggunakan pengeras suara, kami dapat mendengarkan bagaimana cara Gus Mus mengaji kitab kuning. Gaya seorang kiyai tulen. Dengan sesekali candaan menyertai pengajiannya. Sayangnya, Si Zainudin tidak mau saya ajak keluar, sehingga kami tidak bisa tatap muka langsung dengan Abah saat itu. Saya ingin keluar sendirian, agak tidak enak juga, karena komposisi pakaian saya waktu itu agak aneh kalau disandingkan dengan santri di sana.
Pengajian kitab kuning itu berakhir sekitar pukul 22.00 WIB.
Selesai itu, kami berpamitan pada sejumlah santri yang ada di sekretariat. Dan kami pulang. sampai di Unnes, di kos, sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Saya melanjutkan melek sampai sahur. Kaki saya pegel-pegel sekali.
Begitulah, cacatan perjalanan kami.  Walau memang gagal mewawancara Abah Gus Mus, paling tidak kami mendapatkan pengalaman perjalanan dan minimal “pernah ke pondoknya Gus Mus”. Atau minimal sudah berusaha menemui tokoh sebesar Gus Mus.

(penulis: Saiful Anwar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi