“Dosen saya wartawan, Pak!”

Ini sebenarnya kelanjutan dari kisah “Obrolan Tukang Becak” di catatan sebelumnya. Begini, pulang dari Poncol, karena akan menuju Unnes Sekaran, saya tentu saja melewati jalan Imam Bonjol, kawasan Tugu Muda, jalan sebelah Lawang Sewu itu.
Seperti yang Anda ketahui, kawasan Tugu Muda dikelilingi oleh lampu merah. Nah, karena lampu tinggal beberapa detik lagi akan berwarna hijau, dan di sebelah kiri agak lowong, saya memilih berhenti di lajur kiri. Ketika lampu hijau, saya nyelonong saja dan karena saya akan ke Unnes, maka saya tentu saja memilih arah Banyumanik, Solo-Jogja.
Sampai di kawasan penjual bunga-bunga, seorang polisi bermotor menghentikan saya. Menggiring saya ke kiri. Saya ragu-ragu, karena merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tidak melanggar lalu-lintas.
“Selamat siang, bisa lihat surat-suratnya?” tanya polisi berbadan gempal itu.
Saya yang terus terang berdompet kosong, hanya ada seribu rupiah, karena uang 5000 yang saya ambil di sekretarian panitia IMABSII sudah saya belikan esteh dan roti bakri, gemetar karena takut akan ditilang. Tapi saya mencoba bersikap tenang, seperti tak ada apa-apa.
“Kesalahan saya apa Pak?” dengan tubuh saya yang terus gemetar. Saya belum mengeluarkan STNK dan SIM.
“Tadi Jenengan berhenti di sebelah kiri, kan? Itu kan harusnya jenengan menuju Pandanaran. Jenengan salah jalur. Harusnya tadi ambil tengah. Jenengan dari mana? Dari Poncol. Akan ke Gunungpati? Lha jenengan harusnya tadi berhenti di tengah, pas lampu merah. Agar kalau mau menuju Gunungpati tidak salah jalur. Jadi tidak melanggar lalu lintas. Jenengan melanggar lalu lintas.”
Akhirnya, dengan ragu-ragu, saya menyerahkan STNK dan SIM saya. Saya khawatir STNK dan SIM saya ditahan karena melanggar. Polisi itu memeriksa kecocokan STNK dengan plat nomor. Kemudian menceramahi saya.
Saya tiba-tiba kepikiran kisah dosen jurnalistik semester 4, Pak Achiar. Beliau bercerita kalau polisi takut pada wartawan. Sambil menunduk, saya berkata begini:
“Dosen saya wartawan (lho) Pak.”
Setelah saya mengatakan itu, tiba-tiba polisi itu berkata begini : ”Memperingatkan saja, lain kali jangan diulangi lagi. Namanya Saiful Anwar ya?” lalu polisi yang terus saja cemberut itu menyerahkan STNK dan SIM saya, tanpa syarat.
Saya kaget dengan setengah tersenyum. Karena kemudian polisi itu pergi.
Terus terang, saya tidak tahu faktor yang mana yang membuat polisi itu tidak jadi menilang saya. Ada empat faktor menurut saya:
  1. Saya pernah menulis surat pembaca di media online tentang polisi lalu-lintas yang mengajak damai waktu saya kena tilang di Terboyo. Dengan pertanyaaan “Namanya Saiful Anwar ya?”, saya mengira polisi itu mendapat kabar entah dari siapa atau membaca surat pembaca itu, kiriman dari Saiful Anwar, lalu takut ditulis lagi tentang polisi yang mengajak damai waktu menilang pengendara. Tapi saya ragu dengan faktor ini. Kemungkinannya hanya 5%.

  1. Dompet saya yang kosong. Di dompet hanya uang seribu rupiah. Di kantong kiri hanya ada uang kembalian membeli esteh dan roti bakri di warung depan Poncol, 1500 rupiah. Mungkin saja polisi itu berpendapat, seandainya saya ditilang, pasti akan memilih sidang. Sehingga sang polisi tidak mendapat apa-apa selain hanya harus menulis surat tilang. Kemungkinan ini, saya kira hanya 30 persen. Karena saya bersama seorang mahasiswa dari Universitas Jember, yang diam sepanjang tidak saya tanya itu. Sehingga, seandainya ditilang-pun pasti saya akan meminjam uang dari mahasiswa yang saya lupa namanya itu.


  1. Faktor ketiga adalah memang pelanggaran itu tidak dikenakan tilang. Dengan alasan terlalu ringan. Karena hanya melawati jalur yang sedikit salah. Tapi ini kemungkinannya juga kecil. Karena teman saya di HIMA, salah jalur dan mirip kasusnya dengan saya, tetap ditilang, dan ia mengajak damai, dan keluar uang 50ribu. Sehingga kemungkinan ini hanya 5%.

  1. Karena saya mengucapkan kalimat “Dosen saya wartawan Pak.” Sebagaimana yang diketahui orang-orang yang tahu, polisi adalah status yang takut dengan status kewartawanan. Karena wartawan dianggap tahu kode etik kepolisian. Apa-apa saja yang mesti dilengkapi, kesalahan-kesalahan polisi, wartawan dianggap tahu tentang polisi. Lalu polisi takut kalau ditulis di media. Berdasarkan ini, saya kira ini faktor terbesar mengapa saya dibebaskan dari tilang.

Selain  4 faktor itu, ada lagi, yaitu faktor orang Semarang, karena plat motor saya plat Semarang.  Menurut beberapa orang, masyarakat yang berada di sekitar kota tersebut, lebih diberi keringanan soal tilang. Namun ini tidak begitu begitu berarti. Karena saya waktu di Terboyo tetap ditilang.
Coba saja. Karena saya sebenarnya kurang yakin, apakah memang karena saya menyebut “Dosen saya Wartawan Pak”, sehingga polisi itu tidak jadi menilang saya. Karena saya mengucapkannya cukup pelan, dan saya tak tahu polisi itu mendengar atau tidak.
Coba saja, ketika akan kena tilang, Anda mengaku seorang wartawan, atau kakak saya Wartawan, atau Tetangga saya Wartawan, atau siapa saja, yang kiranya bisa disebut wartawan dari orang-orang di dekat Anda.  Apa yang akan terjadi..
Selamat Mencoba!!!!
#RealStory

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi