Presiden Republik Linguistik
Bukan! Bukan tentang dosen. Saya takut mengkritik dosen. Nanti nilai saya jelek, Men! Apalagi mengkritik kampus, bisa-bisa saya mampus!
Tahun 2013 adalah tahun yang cukup istimewa untuk prodi Sastra Indonesia. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya-setahu saya- mahasiswa yang yang memilih konsentrasi linguistik lebih banyak dari sastra. Tahun 2012 saja, angkatan sastra 2010 semuanya memilih konsentrasi sastra. Pada tahun berikutnya, dari sekitar 50 mahasiswa angkatan sastra 2011, hanya 13 yang memilih sastra, dan sisanya linguistik.
Marilah kita selidiki versi penyelidikan orang awam.
Kita tahu, bahwa dua dosen wali angkatan 2011 adalah dosen yang lebih banyak belajar dan mengajar linguistik. Meskipun menjelang pemilihan konsentrasi dosen-dosen itu memang netral dan benar-benar tidak mengunggulkan linguistik dari sastra, namun secara psikologis para mahasiswa sastra angkatan 2011-yang banyak dosen menyebut sebagai angkatan yang berbeda dari sebelum-sebelumnya- sepertinya terstigma bahwa linguistik “lebih baik” dari sastra. Meskipun secara langsung, memang benar-benar tidak pernah terucap pernyataan seperti itu.
Begini, selain faktor dosen wali, banyak faktor lain yang lebih dominan yang membuat linguistik lebih ramai dari sastra. Anak-anak sastra 2011, sebagaimana yang dikatakan di atas : angkatan ini berbeda dari sebelumnya. Setidaknya Bu Mimi dalam mata kuliah Fonologi waktu itu pernah blak-blakan menyatakan hal tersebut.
“Kok angkatan ini (2011) beda dengan yang sebelum-sebelumnya ya. Biasanya anak sastra itu, wah pokoknya kayak gitulah. Suka pakai kaos, rambutnya gondrong, pokoknya aneh-aneh, biasanya. Tapi ini kok beda ya.” Begitu kira-kira pernyataan dosen yang tega memberi nilai BC ke saya pada mata kuliah Fonologi itu (haha).
Beberapa dosen lain juga sempat mengungkapkan hal yang sama meskipun tak sejelas bu Mimi. Nah, karena memang berbeda itulah, pada tahun itu, berbeda pula tradisi pemilihan konsentrasi dari tahun-tahun sebelumnya. Mahasiswa angkatan 2011, bahkan adek kelas, angkatan 2012 berpendapat bahwa angkatan 2011 orangnya kritis-kritis. “Mereka memikirkan akan ngapain nanti, jadi banyak yang milih linguistik.” Katanya.
Saya sebagai peminat sastra sempat menyampaikan pembelaan waktu itu. Karena ia juga mengungkapkan kalau lingusitik lebih jelas masa depannya. Saya sampaikan begini: ya tergantung orangnya juga. Sebetulnya sih sama saja. Kalau pilih linguistik tapi tak bisa membaca perkembangan zaman, dan tetap hola-holo ya apa bedanya. Ya bergantung orangnya lah intinya.
Dari beberapa bukti di atas jelaslah bahwa selain faktor dosen, ternyata anak-anak angkatan 2011 dianggap beda dari sebelum-sebelumnya.
Sebenarnya, untuk orang yang teliti, ada tokoh dibalik banyaknya yang memilih linguistik. Tokoh ini pandai membolak-balik pendapat orang lain dengan kepiawaiannya dalam argumentasi. Bisa saja ia pada posisi yang kurang menguntungkan, tapi dengan kekuatan retorikanya, ia bisa saja berbalik pada posisi yang menang. Kekuatannya ada pada kata-katanya yang secara psikologis dapat dengan mudah memengaruhi orang-orang di sekitarnya.
Saya menyebutnya Makhluk –dari- Ungaran (MU). Si MU pada awal-awal semester saja sudah mendirikan sebuah partai. Partai yang belakangan sempat masuk koran dan media Unnes ini diberi label Partai Saskustik (SAStra ngaKU linguiSTIK). Partai ini menyiarkan visi-misinya dalam puisi yang dilagukan: musikalisasi puisi. Selain puisi, banyak juga lagu yang benar-benar lagu.
Si MU sebenarnya lebih banyak terlibat dalam berbagai urusan yang lebih nyastra. Tapi dalam pemilihan konsentrasi, semua orang terkejut ketika dia benar-benar mantap memilih linguistik. Oknum yang tak bertanggung jawab (akan) mengatakan Si MU sebagai pengkhianat sastra.
Semua orang bahkan tahu, Si MU seringkali hadir dalam setiap panggung pementasan sastra di Unnes. Lakon-lakon drama juga banyak yang dimainkannya sehingga media terkemuka Semarang pernah menyebutnya sebagai Sutradara Muda telah lahir. Sutradara pementasan atau film, sayangnya saya lupa, Men!
Begini, intinya adalah si MU orang yang nyastra beud tapi justru milih linguistik. Pernah suatu kali, dengan kekuatan retorikanya, ia bermaksud agar saya membenarkan pendapatnya. Ia berkata begini kurang lebihnya: drama dihidupkan dengan dialog, nah dalam dialog itu ada maksud-maksud yang tidak cukup hanya dipahami sekilas. Butuh pemahaman lebih. Untuk memahaminya dibutuhkan kekuatan linguistik.
Ia ingin memberi pengertian pada saya bahwa: ia memilih linguistik justru karena ingin mendalami sastra (pementasan: drama). Begitu kira-kira, Men!
Kemudian begini, saya curiga dengan kekuatan retorikanya, secara langsung maupun tidak langsung, ia adalah tokoh utama mengapa linguistik lebih banyak dari sastra. Karena ia memang bisa memengaruhi banyak orang, dan yang saya ingat ia banyak bicara di forum besar sastra. Nah, dengan itulah kira-kira banyak saudara-saudara kita yang baik-baik (dan polos) itu akhirnya banyak yang memilih linguistik. (Seandainya ia memilih sastra, saya kok yakin, peminat linguistik tidak ada bedanya dengan yang lalu-lalu)
Saya terus terang tidak ada masalah dengan lingustik yang lebih banyak dari sastra. Tulisan ini hanya penyelidikan yang dibuat orang sinting. Dan tentu saja tidak penting.
Begini, si MU adalah salah satu tokoh berpengaruh, dan bahkan kalau boleh saya menyebut, tokoh yang paling berpengaruh di angkatan sastra 2011. Selain menjadi Redaktur Zigzag cetak-yang menurut beberapa anggota sebagai redaktur yang sangat sulit dihubungi- di Klub Jurnalistik BSI, terbukti ia berhasil mendirikan partai satu-satunya di angkatan ini: Partai Saskustik. Dengan partai ini, karena memang tidak ada saingan, saya kira ia bisa dengan mudah menduduki kursi yang belum dibeli tapi dilabeli kursi kepresidenan. Dengan kekuatan retorikanya ia bisa dengan mudah menjadi Presiden Republik Linguistik. Republik yang belum didirikan itu.
Komentar
Posting Komentar