Persetan itu Persekutuan Sastra, bukan Persekutuan Setan: Dua Tahun Eksis

Bila ada yang bertanya mengapa dipilih judul demikian, maka bertanyalah mengapa namanya Persetan!

Selamat ulang tahun yang kedua untuk Persetan! Semoga cepat bisa ngomong dengan jelas. Cepat bisa berlari sendiri tanpa tertatih-tatih lagi. Cepat bisa naik sepeda, dan cepat bisa naik mobil, dan naikin orang...#eh

Dua tahun untuk Persetan layak diacungi jempol, kalau jari tengah lagi keseleo. Meskipun gaungnya “lebih” terdengar ketika ada event-event yang “kebetulan” mengundang Persetan untuk nongol di panggung si pengundang, setidaknya dua tahun menjadi bukti bahwa Persetan bisa tetep eksis di blantika musik internasional. Oh, salah Ndes. Blantika komunitas di Unnes.

Awal terbentuknya, katanya, karena keresahan para senior yang sebut saja Mas Abu Bakar dan Kang Lutfiar Laeis melihat anak-anak Sastra Indonesia belakangan. Anak-anak sastra yang (barangkali) dianggap anak tiri di jurusan, berkaitan dengan prodi murni, anak-anaknya yang sedikit, akreditasi kalah dari pendidikan, anak-anaknya yang ndablek, karepe dewe dan lain-lain sebagainya membuat kang mas senior merasa perlu membikinkan wadah, rumah, yang kiranya bisa membangkitkan semangat saudara-saudara sastra untuk tetap berkarya dan jangan mau kalah dengan saudara kandung mas2 mbak2 di pendidikan. Atas dasar itulah, kiranya, dibentuklah suatu perkumpulan, yang setelah melalui perdebatan yang tidak panjang, secara (tidak) resmi, pada tanggal 23 Maret 2012, dipilihlah nama Persetan. Kependekan dari Persekutuan Sastra Indonesia Lintas Angkatan.

Sejak sebelum terbentuk, Persetan banyak menuai konflik di tubuhnya sendiri. Sebut saja angkatan yang seharusnya menjadi tonggak berdirinya Persetan: angkatan sastra 2011. Orang-orang sentral di angkatan ini, banyak kecewa pada Persetan. Misalnya ketika beberapa kali sempat mengikuti kumpul bersama, orang-orang ini, yang (dianggap) kritis ini, merasa komunitas –yang katanya mandiri- ini terlalu banyak guyon. Banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa menghasilkan sesuatu yang serius. Ini barangkali yang membuat anak-anak lainnya juga semakin hari semakin hilang dari perkumpulan ini. Karena orang-orang sentral di angkatan ini sedikit banyak mempengaruhi teman-teman lainnya.

Kritik lainnya untuk Persetan adalah tidak memberi, atau kurang memberi kesempatan mereka yang belum muncul terlihat bakatnya. Mereka ini merasa terkucilkan karena pada akhirnya kurang bisa menyesuaikan aktivitas dan kebiasaan Persetan. Misalnya ketika mengobrol, mereka akan merasa “tidak nyaman” dan “terganggu” dengan kebiasaan di Persetan yang -mau tidak mau harus diakui- lebih menonjolkan budaya guyonnya. Sedangkan mereka yang sejak awal sudah “pewe” karena menemukan orang-orang yang setipe dengannya, semakin berkembang dan jauh meninggalkan mereka yang belum terlihat bakatnya.

Kemudian, agar tulisan ini dianggap seimbang, marilah kita dengarkan penjelasan dari saudara yang masih sangat aktif di komunitas ini. Tommy Faisal Luthfi, manusia berambut gondrong itu memiliki obsesi yang positif, sebenanya, untuk masa depan Persetan. Misalnya ia selalu berharap dengan adanya Persetan, adek-adek kelas baru Sastra Indonesia nanti, ketika lahir, tidak merasakan apa yang dirasakan kakak-kakaknya: merasa dianak tirikan. Untuk adek-adek baru nanti, lanjut mahasiswa angkatan sastra 2011 ini, diharapkan mereka yang sudah sedikit senior, atau setahun dua tahun di atasnya bisa “momong”, “ngemong”, membimbing adek-adeknya ke jalan yang benar. Dalam arti jalan berkarya kreatif tanpa henti, entah itu sinematografi, penemtasan, dan penulisan, sesuai tiga bidang fokus Persetan.

Tommy, sebagai perwakilan angkatan Sastra Indonesia angkatan 2011 yang lebih banyak mengikuti perkuliahan angkatan 2012 ini, banyak memiliki mimpi untuk Persetan ke depannya. Ia juga mengkritik mereka yang tak mau aktif di Persetan dengan alasan tugas kuliah. Menurutnya, percuma lulus cepat kalau tak mendapatkan sesuatu di luar perkuliahan. Tidak mendapat kesan, pengalaman, dan yang paling absurd adalah tidak punya karya yang layak dikenang.

Barangkali pembaca akan kecewa mengapa sebagai – seorang yang mau tidak mau harus diakui- anggota Persetan, penulis tidak banyak guyon dalam menulis ini sebagaimana anak-anak Persetan pada tidak umumnya. Justru lewat tulisan ini, semoga “jantung” Persetan tertohok untuk kemudian menjadikan kritik yang (tidak) serius ini, menjadi semacam kritik alternatif untuk menentukan langkah positif Persetan ke depan. 

Kepada komandan Persetan terbaru, Rian – yang saya terus terang lupa nama lengkapnya-, semoga bisa membawa Persetan kepada dunia yang terang. Bukan dunia gelap “setan” yang banyak dibela di banyak pertunjukkan yang dipentaskan Persetan.

Tulisan ini dibuat tiada lain dibuat karena kepedulian, dan kecintaan penulis kepada Persetan. Sebuah perkumpulan dengan nama yang seperti: Persatuan Setan-setan. Hahahaha. Ora guyon, NDES!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi