Nyoblos itu Kerja, Men!

Sekitar pukul 07 lebih sedikit, menjelang pencoblosan, saya bilang begini pada ibu saya: “Kalau bisa itu, tidak dapat dari siapa-siapa kok, Buk.”

Beliau menjawab begini:“Mencoblos itu kerja, masak tidak dibayar.” Saya spontan ngakak. Hahahaha.

Menurutnya, mencoblos itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Misalnya, karena harus berurusan dengan orang luar, maka mau tidak mau harus mandi dulu, dandan dulu, meskipun ibu saya tidak termasuk pengikut ibu-ibu yang hobi menor.

Saya kira ibu saya penganut setia filsuf klasik yang menyebutkan bahwa : time is money. Jadi, waktu harus dimanfaatkan secara baik dan maksimal. Kalau bisa, tak ada waktu luang untuk menganggur. Dan waktu harus selalu memiliki hubungan dengan datangnya lembaran-lembaran yang bernilai angka.

Sepenuhnya, sebagai anak, saya paham benar bagaimana ibu saya. Selalu saja begini: “Lha yang kiyai-kiyai saja menjadi tim sukses, dan tugasnya tiada lain adalah membagi-bagi uang agar si bos menang. Apalagi yang bukan kiyai?” kira-kira begitu.

Beberapa hari lalu, saya sempat mengatakan kepada teman-teman saya: “Kita sudah membayar pajak mahal-mahal, dan uangnya salah satunya ya dibuat untuk menggelar pemilu ini. Jadi, rugi kalau golput.” Tapi, salah satu dari mereka menjawab: “Bukannya golput juga pilihan, ya?” dan hening.

Ketika sudah berurusan dengan, atau beberapa hari, atau sehari sebelum pencoblosan, dan biasanya pada hari pencoblosan ada sesuatu yang disebut serangan fajar.

Terus terang, saat pulang, tadi malam (malam menjelang pemilihan), baru beberapa menit duduk, ibu saya menyodorkan amplop ke saya. “Ini, jatahmu.”

Saya menunduk. Geleng-geleng. “Lha kok geleng-geleng maksudnya apa?” ibu saya tanya. Saya diam.

Sangat sulit memang meninggalkan budaya manusia Indonesia yang sepertinya sudah mendarah daging perihal mempersepsi bahwa pemilu adalah saatnya menjadi Golput: Golongan Pencari Uang Tunai. Pemilihan apapun, mulai dari Kadus, Lurah, Bupati, Gubernur, DPR-D, sampai Presiden, selalu tidak pernah luput dari tindakan menjadi manusia yang mendadak golput. Menurut mereka (masyarakat kita), mencoblos dalam pemilu selalu berkaitan dengan perolehan kursi. Mempunyai kursi sama dengan mempunyai gaji yang banyak. Nah, gaji yang banyak itu harus ditebus dengan uang yang sedikit-sedikit tapi merata dan itu dilakukan ketika proses ingin mempunyai kursi.

Pernah saudara saya bilang begini: “Kalau gak mau bayar, saya juga mau nyalon.” Katanya berkobar-kobar seperti Bung Karno.

Sebagai bangsa yang baik, seharusnya kita sadar, sudah saatnya kita menjadi dewasa, dan cerdas. Kalau tidak dewasa, kita tidak bisa mencoblos dan dicoblos, nah, kalau tidak cerdas, berarti cerdas. Nah, Lo.

Cerdas yang dimaksud di sini adalah mengenali yang dipilih, mengenali yang akan dicoblos. Jadi, jauh-jauh hari sebelum akan datang ke TPS, kita, sebagai warga negara yang cerdas, sudah tahu rekam jejak sesuatu, seseorang yang akan dicoblos. Kita wajib menilai apakah seseorang itu layak menempati kursi yang dipilihnya atau tidak. Bukan mengenali yang memberi serangan fajar. Bukan mengenali yang memberi serangan fajar. Once again, bukan mengenali yang memberi serangan fajar.

Ketika kita masih mau menerima serangan-serangan politik itu, sejujurnya, kalau boleh, saya harus mengatakan: kita adalah warga yang masih belum cerdas-alih-alih menghindari kata bodoh. Kita hanya disejahterakan selama sehari, itupun kalau bisa sejahtera, dan mereka bisa sejahtera selama lima tahun.

LIMA TAHUN, MEN! DIGANTI HANYA DENGAN SEHARI.

Tapi, bisa-bisanya teman saya yang belum cerdas, bilang begini: mending, kan.. bisa mensejahterakan sehari, daripada tidak sama sekali?

Begitulah, saya hanya ingin bertanya sekarang, kapan kita akan menjadi pemilih yang dewasa dan cerdas?

Terus terang, saya menolak pemberian amplop ibu saya yang diperoleh dari serangan-serangan itu. Saya menyerahkan kepadanya, terserah mau diapakan. Tapi, sebelum saya berangkat ke Gunungpati lagi, ibu saya memberikan selembar uang kepada saya. Nah, saya tidak tahu apakah itu uang yang berasal dari serangan itu atau tidak.

Sekarang, uang serangan fajarnya masih sisa berapa? Pasti sudah habis buat beli tempe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi