Ditinggal Orangtua dan Meninggalkan Orangtua
Memiliki orangtua, kurang lebih seperti memiliki pegangan hidup. Dalam menyadari eksistensi diri sebagai manusia, kita tak bisa lepas dari yang mendahului kita, bahwa selalu ada yang lebih mengerti, lebih tahu, paham, pengalaman, karena (minimal) lebih lama menjalani hidup sebagai manusia.
Begini, dalam sebuah organisasi, kita selalu mengenal, selain peserta penjalan (ini kata benar atau salah ya?) roda organisasi, selalu ada yang namanya dosen pendamping. Nah, peran dosen pendamping untuk organisasi yang sudah mapan biasanya adalah (hanya) alternatif tempat konsultasi atau kurang lebihnya tempat curhat, berkaitan dengan organisasi tersebut. Di HIMA BSI misalnya, sebuah organisasi yang sudah mapan, sudah lama terbentuk, sudah tua, berpengalaman, dan memiliki regenerasi yang konsisten, dosen pendamping, barangkali hanya menangani masalah-masalah yang rumit. Misalnya ketika organisasi yang sudah bisa berkendara motor ini ditilang polisi, atau mengalami kecelakaan yang fatal. Ia tidak akan mengajari teknik berkendara motor yang baik dan selamat, karena organisasi sudah mampu menjalankannya.
Dalam sebuah organisasi yang sudah mapan, dosen pendamping tidak banyak ikut andil dalam organisasi tersebut, atau barnagkali memang tidak perlu, atau sebagaimana yang tercantum di atas, “hanya” sekedar tempat curhat, dan memberi saran-saran atau pendapat yang kiranya perlu. Sekarang begini, katakanlah seorang dosen pendamping adalah orangtua bagi organisasinya, dan organisasi yang sudah mapan, kita akan sepakat menyebutnya sebagai organisasi yang sudah dewasa, sudah bisa berjalan sendiri, bahkan sudah bisa naik sepeda motor sendiri, dan menyetir mobil ke Mekkah sendiri.
Ada seorang yang sedang ngomong sama tembok: misalnya ada seorang anak yang baru saja dilahirkan, belum bisa berjalan sendiri, atau barangkali duduk saja masih belum tegak, tapi sudah ditinggalkan orangtua. Misalnya saja, orangtua itu memang benar-benar sibuk dan benar-benar tidak ada waktu luang sama sekali untuk anak malang itu. Sekarang, apa yang bisa diharapkan dari anak tersebut?
Oke, katakanlah begini: anak itu sudah diajari cara duduk, berjalan dengan benar di sisi kiri, dan naik sepeda motor secara benar dan selamat. Tapi anak ini belum pernah mencobanya. Ia hanya menerima teori-teori yang panjang dan belum pernah praktek. Kemudian ketika sudah praktek dan benar-benar praktek, orangtua ini “tega” meninggalkan anak malang ini. Padahal usinya masih dalam masa-masa butuh diajari, dituntun dan diberi masukan-masukan yang (minimal) menumbuhkan semangat ketika jatuh dari belajar duduk, berdiri, berjalan, dan berkendara motor.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah anak ini benar-benar anak? Misalnya apakah anak ini adalah anak dari hubungan gelap yang tidak diharapkan hadir, atau tidak benar-benar diharapkan hadir? Apakah anak ini adalah anak haram? Sehingga orangtuanya pun enggan mengakui dan bahkan meninggalkannya? Lantas, mengapa anak ini dibuat? Hanya untuk senang-senangkah? Atau untuk menambah gengsi bahwa: sudah bisa bikin anak?
Pertanyaan-pertanyaan ini, apakah berarti Wanabaya bukan panglima lagi?
Pertanyaan terakhir itu petikan dialog naskah Mangir. Tentu tak ada hubungannya.
Begini: Pertanyaan-pertanyaan itu, biarlah rumput yang sedang nonton wayang yang menjawabnya.
Meninggalkan Orangtua
Kita akan dianggap tidak adil bila hanya melihat dari posisi orangtua. Sekarang dilihat dari anaknya. Apakah anak yang baru saja lahir ini masih ingin diajari, dituntun, diberi nasihat, dan dibimbing dengan teknik-teknik tertentu untuk duduk dengan benar, berdiri tegak, berjalan di sisi kiri, berkendara motor, dan menjadi pilot yang tidak nyasar ke samudra Hindia? Karena boleh jadi masalah sebenarnya adalah anak ini yang durhaka. Ia sudah merasa pinter berjalan sendiri, menyetir mobil sendiri, dan menjadi masinis yang baik dan selamat sampai Jakarta.
Anak ini barangkali adalah anak yang kurangajar karena sudah tak mau diajari, padahal kenyatannya masih tertatih-tatih berjalan sendiri, sering jatuh dengan motor, nabrak pohon dengan mobil dan bahkan mengolengkan kereta yang menelan beberapa korban. Sungguh kurang ajar anak yang baru saja lahir ini!!!
Dengan sudah merasa pintar dan lihai, kemudian anak ini meninggalkan orangtuanya begitu saja, berlatih sendiri sesuka hatinya, dan menanggalkan nasihat orangtua yang memang sibuk itu?
Padahal anak ini sepenuhnya menyadari, bahwa orangtuanya tidak hanya dua, apalagi satu. Orangtuanya ini, minimal yang “membuat”-nya, adalah sekumpulan orangtua yang memang sudah hidup lebih lama di bumi dan sudah mengerti benar bahwa bumi itu tidak seperti telur asin, atau telur puyuh.
Dengan dua pandangan tersebut, setidaknya, tembok yang bijaksana diharapkan sebentar lagi akan menyampaikan sepatah dua patah kata untuk menyampaikan amanatnya.
Sekarang, marilah bersama-sama kita baca surat Yasin dan Al-Waqi’ah! Dan Alfatihah!
Komentar
Posting Komentar