Apa bedanya Wawan dengan Radio?
Siapa yang tidak kenal Wawan Kristiawan Diwangkara? Jawabannya: banyak. Tanyalah pada rektor Unnes, pasti tak tahu. Atau tanyalah rektor Undip, pasti Anda dikira orang sinting. Lantas, mengapa mucul pertanyaan demikian? Iseng-iseng, Ndes!
Wawan, bila dinilai dari beberapa sudut pandang, maka ia akan ditempatkan di kursi terhormat sebagai salah seorang tokoh sentral di Sastra Indonesia 2011. Tidak lain tidak bukan adalah karena perannya sebagai “radio berjalan”. Siapa yang bisa mengalahkan radio? Hanya Tuhan dan Bu Raminah.
Tingkah lakunya yang tak karuan, berantakan -meminjam penggalan lagu d’masiv-cinta ini membunuhku- dan tak pernah mau mingkem sepersepuluh detik pun menjadikan Wawan sebagai seorang yang layak dianugrahi sebagai seorang Radio-man. Seorang yang pernah mau diam-seperti radio.
Jangankan untuk anda yang kenal dengan Wawan, yang tidak kenal saja bisa kewalahan menghadapinya. Misalnya, sebut saja Pak Sendang Mulyana, dosen yang anak sastra lebih suka menyebutnya: Bapak, mengomentari seorang Wawan sebagai Cah Lucu. Lucu yang dimaksud Bapak adalah sering berbicara di kelas, tapi minim kualitas. Atau tidak mutu. Sehingga ia mengganggap itu sebagai Lucu. Korban yang tidak kenal adalah cewek-cewek yang lewat di depan matanya-yang kebetulan memiliki paras yang aduhai. Wawan dengan caranya sendiri, akan mengajak ngobrol atau mengomentari Mbak2e, dan dengan cara yang Mbak2e bisa mendengarnya. Sehingga kadang Mbak2e senyum2 sendiri karena mendengarkan radio-man.
Terus terang, orang yang paling jengkel dengan seorang Wawan si radio-man adalah orangtuanya. Saya tidak tahu mengapa saya menulis orangtuanya. Kemudian, orang nomor sekian yang jengkel dengan Wawan, sang radio-man adalah si komting. Korban keradio-mannya. Komting kelas di rombel Wawan, sebut saja namanya Mr.Red, selalu kalah dengan sang radio-man. Ketika si komting ini menikmati kekalahan dengan cara diam, si Radio-man terus saja mengoceh tanpa bisa berhenti. Dan ia terus saja memancing agar si komting berbicara. Ketika sudah ngomong, maka akan segera dihabisinya. Kalau diam, dipancing dengan olok-olok, misalnya: komting kok meneng wae, komting kok ora teges. Kalau sudah sampai di sini, si komting akan mengibarkan bendera putih, tanda menyerah. Dan tidak berhenti di situ saja.
Meskipun sudah mengibarkan bendera putih, si radio-man tetap menyanyi dan mengoceh. Hingga si komting keluar kelas dan meloncat dari lantai 3 gedung b1. Setelah sampai di bawah, sudah demikian hancur perasaan si komting, si radio-man tetap ngomong, berbicara, tanpa ada mutu, terus-menerus tanpa henti. Baru setelah sehabat komting memanggil Bu Raminah, karena Tuhan sedang sibuk, sang radio-man mendadak berhenti. Begitulah, nasib si komting di rombel radio-man.
Sekarang, yang jadi masalah adalah apakah setelah si radio-man membaca tulisan ini akan berubah menjadi vcd-player? Yang dibutuhkan berbicara sesuai pada waktunya? Hanya Tuhan yang tahu, dan Bu Raminah, kalau beliau bersedia membaca tulisan ini.
Komentar
Posting Komentar