Seorang Bocah yang Datang di Pagi Hari


Ada bocah pada suatu pagi, datang, begini, katanya, sebentar lagi akan kiamat. Sebentar lagi dunia akan berakhir. Sudah tak ada lagi pengampunan. Tak ada lagi pintu maaf bagi siapapun hamba. Tuhan sudah menutup pintu. Ibadah sudah tak mampu lagi mengelap dosa-dosa.
Karena bingung, bapak-bapak yang mendengar ini langsung melapor kepada Pak RT. Pak RT melapor pada kiyai setempat. Kiyai bingung. Lalu menginterogasi bocah yang mengaku dari bulan ini.
“Kamu bener datang dari bulan?”
 “Saya hanya tahu kalau kiamat akan datang sebentar lagi.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari bulan.”
“Apa buktinya?”
“Banyak.”
“Coba sebutkan.”
“Bapak lebih tahu dari saya.”
Pak Kyai mulai kesal. Berhenti bertanya. Ia menyeruput kopi untuk menenangkan pikiran. Berpikir-pikir lagi. Bagaimana mungkin ada bocah mengaku-ngaku dari bulan. Mengatakan kalau kiamat bakal terjadi sebentar lagi. Mengakui sudah banyak tanda-tanda kiamat.
Dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat ke-21 dikatakan bahwa tanda-tanda hari kiamat akan datang binatang melata. Tapi ini bocah. Bukan binatang melata. Ia tidak melata. Berjalan sebagaimana manusia normal. Ia juga tak nampak seperti bangsa dari Ya’juj dan Ma’juj yang disebutkan Al-Quran juga akan datang pada hari kiamat. Kiyai pusing sendiri.
“Berarti kamu alien seperti yang diomongkan orang-orang Amerika?”
“Apakah alien mengerti tentang kiamat?”
“Kamu mengerti tentang kiamat.”
“Saya hanya tahu kiamat akan datang sebentar lagi.”
“Kamu utusan Allah ya?”
“Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad.”
“Jadi kamu ini siapa?”
“Saya hanya tahu kiamat akan terjadi sebentar lagi.”
“Mengapa kamu tahu?”
“Karena saya diberi tahu.”
“Siapa yang mengajarimu?”
“Bulan.”
Kiyai yang semakin buntu menelpon kerabatnya yang juga kiyai.
“Assalamualaikum, Kiyai.”
“Wa’alaikum salam. Bagaimana kabarnya, Kiyai?”
“Wah saya sedang bingung, Kiyai?”
“Mengapa bingung? Bukankah sholat akan menenangkan kita yang dilanda bingung?”
“Apa yang akan kiyai katakan kalau saya ngomong kiamat akan terjadi sebentar lagi.”
“Ohh itu. Kan memang sekarang sudah banyak tanda-tandanya .”
“Jadi Kiyai sudah tahu, kalau kiamat akan datang sebentar lagi.”
“Dari mana saya tahu? Kan kiamat bisa terjadi kapan saja.”
“Kiyai sudah tahu kalau ada anak yang mengabarkan kiamat akan datang tak lama lagi. Katanya, amalan sudah tak berguna lagi. Dosa-dosa sudah tak bisa lagi dikurangi dengan tobat.”
“Maksud Kiyai?”
Kiyai-kiyai ini berdebat di telepon. Kiyai di seberang sana jadi penasaran sendiri ingin bertemu dengan bocah dari bulan ini.
“Ya sudah, saya ke dalem kiyai sekarang juga.”
Kiyai di telepon tiba 10 menit kemudian. Segera mencecar bocah itu.
“Mengapa kamu tahu kiamat akan datang sebentar lagi?” tanya kiyai kedua.
“Karena saya diberi tahu.”
“Mengapa kamu yang diberi tahu?”
“Karena saya yang dipilih untuk diberi tahu.”
Kiyai kedua menghela napas.
“Apakah benar amalan sekarang sudah tidak diterima lagi karena kiamat akan segera datang?”
“Sekarang pintu tobat sudah ditutup. Yang kemarin tobat masih bisa masuk sorga. Yang hari ini dan seterusnya, sudah tidak bisa.”
“Mengapa begitu?”
“Karena sebentar lagi akan kiamat.”
“Mengapa kiamat sebentar lagi?”
“Karena memang sudah waktunya.”
Kiyai kedua sebel juga. Ia memutuskan untuk berdiskusi sejenak dengan kiyai pertama.
“Bagaimana ini Kiyai?”
“Ini membahayakan umat. Kalau begini terus, kalau bocah ini ngomong terus kesana-kemari, warga bisa kebingungan. Mungkin saja bocah ini akan dibunuh. Dibakar ramai-ramai, karena dianggap sesat.”
“Tapi kan dia masih kecil.”
“Badannya memang kecil, tapi pikirannya terlalu maju.”
“Dia kan mengaku dari bulan Kiyai?”
“Maksud Kiyai dia ini alien?”
“Di bulan kan tidak ada siapa-siapa. Boleh jadi anak ini berbohong.”
“Apa kiyai melihat bagaimana cara bocah ini berbicara. Tegas sekali seperti tentara. Apa ada anak di kampung kita, atau di negeri ini yang mirip dia? Pasti tidak ada. Dia ini memang langka.”
“Maksud kiyai anak ini benar dari bulan?”
“Mungkin saja dia bukan dari bulan dalam pengertian kita. Tapi dalam pengertian yang lain. Bisa saja ada planet yang bernama bulan dan bukan satelit dan tidak masuk tata surya.”
“Tapi saya kira dia ini sedang bermimpi, Kiyai.
Atau jangan-jangan kita yang bermimpi?”
“Ahh kiyai ini mengada-ada saja. Jadi kesimpulannya bagaimana?”
“Apa kita undang kiyai-kiyai sekota saja untuk merapatkan masalah ini?”
“Terus bocah itu mau diapakan?”
“Dia dikurung dulu sampai ada kesimpulan dari kiyai-kiyai sekota dalam rapat nanti.”
Jadilah, bocah yang datang di pagi hari itu dan mengumumkan kepada siapa saja tentang kiamat, dikurung di salah satu kamar dalem* kiyai.
Rapat digelar sehari kemudian dengan kiyai seadanya di kota itu.
“Bagaimana kalau bocahnya langsung ditanya di sini saja?” Usul salah seorang kiyai.
Semua setuju.
Bocah itu dikeluarkan dari kamar dan disuruh berdiri di tengah-tengah kiyai sekota setempat. Bocah itu kini di tengah forum para kiyai. Kemudian dicecar.
“Nama kamu siapa?” Salah seorang kiyai memulai.
“Saya tidak tahu. Saya hanya tahu saya disuruh untuk memberitahu bahwa kiamat akan datang sebentar lagi.” Tegas bocah itu.
“Bagaimana kamu tahu itu?”
“Karena saya diberi tahu.”
“Siapa yang memberi tahu?”
“Bulan.”
“Bulan? Bagaimana kamu berbicara dengan bulan?”
“Kami memiliki bahasa yang khusus.”
Hening sejenak. Kyai lain ingin mencoba bertanya.
“Kapan terjadinya kiamat itu? Besok, lusa, atau kapan?.”
“Kapan saja kalau Allah sudah mengijinkan.”
“Jadi kamu juga tidak tahu kapan kiamat akan terjadi?”
“Sudah tentu hanya Allah yang tahu.”
“Lalu mengapa ada informasi tobat sudah percuma, tidak bisa menebus dosa-dosa?”
“Saya diberi informasi demikian. Maka saya harus menyampaikannya.”
 Setelah itu, tak ada pertanyaan lagi. Bocah itu dipersilakan masuk lagi ke kamar, sementara kiyai-kiyai berdiskusi.
Setelah beberapa saat, akhirnya diputuskan kalau bocah ini hanya dipengaruhi orang yang aneh. Untuk mengantisipasi amarah masyarakat kalau-kalau menganggap bocah ini sesat, maka bocah ini bakal dikurung sampai pembinaan selesai dan berhasil. Bila pada sampai waktunya bocah ini tak dapat dibina dan dibenarkan, maka akan dinyatakan sesat. Meskipun badannya masih kecil, tapi pikirannya sudah tua. Maka layak dianggap sesat. Hukuman akan ditentukan kemudian. Tok. Tok. Tok. Semua setuju.
Baru sehari dikurung, bocah itu teriak-teriak.
“Tanggul jebol.. tanggul jebol.. sungai Tuntang meluap.. meluap.. sebentar lagi banjir... banjir..”
Kalimat itu diulang-ulang beberapa kali bocah dalam kurungan itu. Kiyai mendengar itu, tapi ragu. Sampai sejam berikutnya, ada pengumuman dari ketua dusun setempat.
“Pengumuman. Kepada seluruh warga, terutama yang laki-laki dihimbau untuk segera menuju tanggul sebelah makam. Karena tanggul hampir jebol. Sekali lagi, saya himbau kepada seluruh warga laki-laki untuk segera menuju tanggul sebelah makam. Karena dikhawatirkan jebol, dan bisa saja banjir. Sekian terima kasih. Harap diperhatikan.”
Seketika seluruh warga berbondong-bondong menuju tanggul sebelah yang dimaksud. Ada yang membawa motor, ada yang membawa cangkul. Ada yang membawa motor sambil membawa cangkul. Ada yang berlari, ada yang setengah berlari. Ada yang setengah berlari kemudian berlari. Semua warga tumplek blek di kawasan tanggul dekat makam.
Sementara warga laki-laki mengikuti arahan kepala dusun, seorang perempuan beruban berseloroh.
“Nyai Roro Kidul hanya lewat. Tak bakalan banjir.”
Warga yang mendengar menyahut.
“Bagaimana dengan bocah yang dikurung kiyai-kiyai itu, Makde?”
“Dia itu calon wali.” Katanya.

Agustus 2013


Catatan: dalem = kediaman kiyai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nobar “Kinipan”, Wong Grobogan Belajar Merawat Lingkungan

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan