Ibu Tua
Ibu Tua meringkuk di kamarnya. Sendirian. Usai Menik
menonton televisi di ruang tengah, tak ada lagi suara yang mencairkan rumah
itu. Dan Ibu Tua itu, tentu tahu Menik esok harus pergi ke sekolah pagi-pagi.
Tak mungkin memintanya menemani dirinya hingga tertidur.
Dan begitulah, Ibu Tua itu lebih sering merasa sendiri
setelah ditinggal suami yang
dipanggil Illahi dan anak-anaknya yang satu-persatu
bergiliran meninggalkan rumah itu. Menik, putri bungsu dari lima bersaudara
lebih sering berada di luaran. Pagi, bangun pukul lima, membantunya menyapu dan
menyiapkan sarapan, lalu mandi dan lantas meninggalkannya sendirian di rumah.
Sepi. Sepi. Selalu hanya sepi yang setia menemani Ibu Tua.
Kini, Ibu Tua sedang melamun di jendela. Dulu, ia ingat
sekali, di situ ia pernah mendongeng untuk anak-anaknya. Betapa Ibu Tua dengan
muka cerah sumringah menjadi pendongeng setia di rumah hanya agar anak-anaknya
merasa betah tinggal bersamanya. Ibu Tua bahagia sekali melihat anak-anaknya antusias mendengarkan
dongengannya.
Ibu Tua merasa amat sangat rindu pada suasana itu.
Sebenarnya kini ia ingin kembali menjadi pendongeng seperti dulu, tentu buat para cucunya.
Dan yang diharapkannya ini, ternyata anak-anaknya lebih suka bergumul dengan
kehidupan modern di tanah rantau. Tanah rantau memang lebih indah dan menarik
daripada kehidupan kampung yang serba sederhana.
Semuanya hanyalah tinggal kenangan. Semua keindahan-keindahan
yang menghiasi rumah itu kini hanya dapat dibuka di lembar-lembar masa lalu yang tersimpan
rapi di lubuk hati. Rumah tua yang selalu dihiasi derai tawa sewaktu anak-anak masih berkumpul
dulu kini hanyalah saudara kuburan yang hanya sesekali saja ada
tanda-tanda kehidupan. Ditambah ketika Menik
berada di rumah dan membawa bayi tetangga yang kebetulan dititipkan padanya.
Ibu tua memandangi foto yang terpajang di ruang tamu.
Mereka semua tersenyum. Mengapa mereka semua saat itu bisa tersenyum dengan tulusnya seperti itu
hidup dengan
Ibu tua. Dan kini entah kemana senyum itu pergi meninggalkan dirinya sendiri di
rumah itu.
Ibu tua mengelus dadanya. Tak terasa ada tetes-tetes yang terjatuh ke lantai keramiknya.
“Menik, apalah gunanya rumah mewah, tanah luas yang selalu tumbuh subur
dan menghasilkan apa saja. Apalah gunanya kiriman uang dari Mbak dan Masmu itu
tiap bulan bila yang Ibu rasakan hanyalah kekosongan dan kehampaan. Engkau
harus tahu Menik, kebahagiaan seorang Ibu hanyalah bila anak-anaknya nyaman
hidup bersamanya. Bisa menghibur di usia yang makin lama makin menggerogoti
tubuh yang renta. Sepeninggal Bapakmu, memang aku tak perlu lagi bekerja di
kebun dan sawah, karena semua biaya hidupku ditanggung Mbak dan Masmu. Tapi apa
Ibu bisa bahagia, Ibu hanya ditemani kehampaan. Ibu tahu, kau masih ada
menemani Ibu, namun aku kini juga sudah menjadi nenek yang rindu sekali
menimang cucu.”
Ibu tua lantas kembali ke kamarnya. Sambil menunggu kantuk menghampirinya Ibu tua ingin menjahit kain yang dibelikan
Menik tempo hari. Namun Ibu tua tak tahu dan bingung apa yang bisa dibuatnya
dengan kain itu. Di depan mesin jahit itu, ia ingat akan cucu-cucunya yang
manis-manis. Namun, apakah anak-anak Ibu tua itu bersedia memakaikan pakaian
itu pada anak-anaknya, rasanya mereka lebih bangga memakaikan anak-anaknya
dengan baju-baju modern, bukan baju yang dijahit Ibunya sendiri.
Dan begitulah, Ibu tua merenung sendiri dalam kamar. Ia
hanya menuggu kantuk yang tak jua datang hingga larut malam. Betapa
kerinduannya yang sudah menggunung itu
membuat matanya urung untuk mengantuk. Dalam pandangannya ke langit-langit
kamar, betapa ia rindukan menggendong cucu-cucunya yang terakhir kali ia
lakukan sepuluh bulan lalu saat hari raya Idul Fitri. Hanyalah dalam awang-awang.
Ya, Ibu tua hanya bisa mengawang-awang cucu-cucunya ada dalam pelukannya.
“Pada akhirnya arus kehidupan akan pulang
pula ke muaranya. Segala keindahan kehidupan akan berlalu. Selalu. Dan selalu
menjadi tua adalah risiko kehidupan yang wajib dilalui. Segala yang membuat
kita tersenyum hanya akan menjadi kenangan yang melupakan kita.” Gumam Ibu tua
itu sendirian.
Di mulut jendela kamarnya, usai Ibu
tua lelah duduk di kursi mesin jahit, selalu ia memandang ke luar, menerawang,
dan berbicara sendiri. Entah tentang kehidupan, tentang kerinduannya, tentang
apa saja yang bisa membuatnya tersenyum. Ibu tua yang wajahnya telah dipenuhi
keriput-keriput mencoba untuk tersenyum tulus tanpa meneteskan air dari kedua
matanya. Selalu ia ingin mencegah air itu keluar dengan segala senyumnya.
Namun, Ibu tua selalu saja gagal dan air tetap menetes dari matanya. Entahlah,
Ibu tua tetap tersenyum. Ia seperti masih mempunyai pengharapan besar bahwa
kesunyiannya akan berakhir. Atau minimal ada selingan yang bisa membuatnya
tersenyum setulus-tulusnya. Bukan senyum di bibir dengan hati nyinyir seperti
yang kini ia rasakan di mulut jendela.
Dan betul saja, Menik mengabarkan
bahwa Sholikin, Nasikin, Mukminah dan Kusti bersama istri dan anak-anaknya akan
berkunjung ke rumahnya. Ibu tua bahagia bukan kepalang mendengar kabar dari
Menik ini. “Semua kebekuan sebentar lagi akan mencair. Segala kesepian dan
kehampaan sebentar lagi akan terselingi dengan keriuhan hati yang
menggenbirakan.” Ucap Ibu tua itu dalam hati sambil tersenyum bahagia.
“Menik, ke pasar sana gih! Beli
kacang hijau buat bubur. Mas Sholihin suka sekali bubur kacang hijau.”
“Menik, beli ketan hitam, Mas
Nasikin gemar benar makan bubur ketan hitam.”
“Menik, beli sayur bayam sebongkok.
Mbak Nah nggak doyan makan kalau tanpa sayur bayam.”
“Menik, beli tomat dua ribu, Mbak
Ti nggak pernah habis makan kalau tak sama sambal tomat.”
Dan segala kesukaan anak-anak Ibu
tua disuruhnya Menik mencarikannya. Ibu tua
berusaha menyiapkan hidangan istimewa dalam rangka menyambut
anak-anaknya saat berkunjung ke rumahnya nanti. Ia tak mau anaknya kecewa
ketika di rumahnya.
Betapa pengharapan besar memang
ditaruh Ibu tua saat anak-anaknya menyambangi rumahnya itu. Bahwa kesunyian,
kesendirian, kesepian akan segera mencair dengan kedatangan cucu-cucu yang
dibawa anak-anaknya itu.
“Dan begitulah, saat usia mulai
mengeriputkan kulit-kulit kita. Perjuangan kita sewaktu masih Ibu muda akan
kita mintai balasannya seperberapanya. Meskipun seberberapanyapun takkan
sanggup mengganti ketulusan yang pernah kita berikan pada mereka.” Sekali lagi,
Ibu tua bergumam sendiri.
Menjelang dekat-dekat hari saat
kedatangan rombongan anak-anaknya itu, Ibu tua dan Menik membersihkan rumah
beserta teras dan pelatarannya. Menyirami bunga-bunga di teras, mengepel lantai
dari ruang tamu sampai dapur, dan merapikan kamar-kamar yang kosong. Mungkin
saja anak-anaknya nanti ada yang kepingin menginap.
Dan begitulah, penyambutan Ibu tua
terhadap anak-anaknya yang akan menyambangi rumahnya memang seperti berlebihan.
Namun, bagi Ibu tua yang akan dihibur dari kesepian itu merasa semuanya wajar.
Bukankah kita harus melakukan sesuai yang kita mempu. Kalau bisa memberikan
yang terbaik, kenapa yang biasa-biasa saja?.
Tibalah kini saat anak-anak Ibu tua
akan datang ke rumah di pedusunan itu. Dusun dengan akses jalan yang sudah
tentu jauh berbeda dengan di kota, tempat anak-anak Ibu tua tinggal. Mereka
datang dengan segala kebiasaan di mana tempat mereka tinggal, tak ada pelukan
lembut, tanpa senyuman lama, dan tanpa kesederhanaan yang dulu mereka bawa ke
tanah rantau. Mereka menjelma manusia-manusia yang tak dikenali Ibu tua. Mereka
telah membawa perangai modern ke rumah itu. Dan Ibu tua sama sekali muak dengan
tingkah laku anak-anaknya itu.
Kini, yang dirasakan Ibu tua, tak
ada obat sepi dari anak-anaknya, dari cucu-cucunya. Malahan hati Ibu tua makin
nyinyir melihat polah tingkah anak-anaknya. Tak ada senyuman hangat, seperti
setiap hati bertemu saja. Dan mantu-mantunya sama sekali tak menaruh hormat
pada Ibu tua. Mereka benar-benar seperti bukan anak-anak yang dilahirkan Ibu
tua dulu.
Sesudah mereka pulang, tak ada
kenagan keindahan yang diselipkan di hati Ibu tua. Malahan semakin menggunung
nyeri hati Ibu tua ketika anak-anaknya lebih memilih makan di luar rumah. Kalau
menebas leher sendiri tak dilarang Tuhan, Ibu tua akan melakukannya pula.
(cerpen ini mirip dan memang terinspirasi dari sebuah cerpen yang pernah dimuat di harian Kompas berjudul "Jendela Tua")
Komentar
Posting Komentar