“Kata” Papa


Pada suatu kalimat terpenggallah kata yang mengganggumu di malam hari. Entah membuat kau terpesona atau bukan, yang jelas kau mengatakannya: aku tak bisa tidur gara-gara kata itu. Di depannya, ada bayangan. Bayangan tentang citanya, cintanya dan yang terakhir adalah kata nya. Kata yang mengganggunya sejak ia memelototi buku yang tergeletak di meja tamu. Seumpama dia sedang membayangkan bertamasya di bali selama seminggu , maka satu minggu itu akan dipotong tiga hari hanya untuk memikirkan kata itu.
Dalam benaknya, ada satu. Ia yakin. Ada sesuatu yang satu.  Dalam hatinya, atau entah di mana. Satu juga adalah kata itu. Menyelinap di mimpi malamnya, bepergian waktu paginya dan ikut pulang waktu sorenya.
Tak ada lagi yang bisa diucapkannya bahkan dilakukannya. Ia hanya terdiam. Atau lebih dari itu, ia makhluk terpuruk. Begitu hatinya bergumam.
Satu pagi yang sumpek, menambah pula beban sumpek yang harus ia derita sekarang. Pikirannya hilang. Lepas. Dirinya redup. Seredup-redupnya. Akalnya amblas. Atau mungkin juga tertiup angin.
Yang jelas pagi itu ia masih bisa bernapas. Sesuai orang –orang lain, dari hidungnya. Matanya menyipit, mirip keturunan cina. Dan hidungnya, dari hidungnya meleleh puluhan tetes ingus. Tak sanggup ia mengusapnya. Lalu dibiarkanlah ingus itu sampai ke lidah yang kemudian dirasakannya asin.
Barisan sinar matahari cepat mencubit kulitnya tatkala ia sampai di pelataran. Ia merasa tidak tahu. Persisnya ia sebenarnya ingin mengingat, tapi ia lupa bagaimana caranya.
Apa ia juga ingat bagaimana pagi yang lalu sinar mentari sampai di pori-pori kulitnya? Mungkin ia juga lupa. Karena apa-apa yang ingin diingatnya yng muncul adalah kata itu. Kata yang bagaimanapun bentuknya atau apa isinya benar-benar membuatnya takut. Takut akan sesuatu. Takut akan sesuatu yang bakal menimpanya di lain hari.
Ternyata ketakutan-ketakutan itu berlanjut buat hari selanjutnya. Lalu bagaimanakah kelanjutan hari-hari dalam diri tokoh kita ini? Apa yang akan dilakukan tokoh kita ini? Entahlah.
Ketika ia membaca koran, menonton film, sedang di kamar mandi, makan, dan yang paling pasti adalah saat ia melamun, maka kata itu menyelinap begitu saja dalam ruang pikirnya.
Dan lama-kelamaan sang istri sebel juga melihat polah suaminya yang keseringan melamun dan jarang memerhatikan dirinya. Pertama-tama istri tokoh kita tidak menyampaikannya secara langsung apa-apa yang membuatnya tidak nyaman atas tingkah polah sang suami. Ia hanya tak pernah melebarkan bibir manisnya tatkala ada di depan suaminya. Walau tak lantas melotot, sang istri lebih bandel bila ditanya suaminya. Ia memilih diam seribu bahasa dengan muka cemberut.
Melihat sang istri yang sikapnya mendadak aneh, ia lantas berpikir. Sepertinya ia tahu ada yang salah pada dirinya. Lalu pada sore yang tepat ia memanggil istrinya. Lantas menyuruhnya membikin secangkir kopi buatnya.
Setelah menyuruh duduk, sang suami pun memulai.
“Kok kamu akhir-akhir ini aneh, apa uang belanjanya kurang?”
“Bukannya kamu yang aneh duluan?”
“Memang apa yang aneh, uang belanjanya selalu lebih kan?”
“Memangnya kebutuhan istri uang belanja doang apa!” Si istri mulai membentak.
“Kok mama nyolot sih!” Ia mencoba meredamnya dengan panggilan mama.
“Lha kamu memang yang duluan kok!” Sang istri tak terpengaruh dan tetap pada pendiriannya.
Akhirnya Ia memang mengakuinya. Dan lambat-lambat dengan nada yang mengalah Ia mengenalkan pula kata itu pada sang istri.
“Oh.. Ia ya pa...” sang istri takluk juga akan kata itu.
“Memang papa dapat buku itu dari mana?”
“Dua hari yang lalu teman Nina kan ke sini. Dia bawa buku tebal bersampul gelap. Papa kira buku apaan, papa baca-baca kata-katanya  kok malah bikin papa merenung”
“Apa itu juga yang bikin papa susah tidur?”
“Sepertinya begitu ma.”
“Lalu apa rencana papa selanjutnya?”
“Menurut mama gimana?”
Agak lama mereka berdua saling bengong. Lalu sang mama membuka suara.
“Mama rasa,  kita harus ke toko buku secepatnya. Bagaimana menurut papa?”
“Apa mama punya waktu buat itu?”
“Kalau cuman sehari kan nggak ngganggu-ngganggu banget, pa.”
Dia mempertimbangkan. Seperti akan memutuskan sidang kelas berat.
“Lusa, minggu kan ma, Apa mama punya acara?”
“Boleh deh pa. Mama rasa ini lebih penting dari pada arisan.”
Deal ya ma,” “Ya, deal
***
Lalu, minggu itu, benar. Dia bersama istrinya mandi pagi-pagi. Minggu yang mungkin sedikit istimewa dari biasanya. Mereka bangun tidak setelat minggu biasanya. Kemudian lekaslah keduanya sarapan bersama. Anak-anak belum kelihatan apakah sudah ada yang bangun atau belum. Tapi, dia dan istrinya meluncur juga meninggalkan rumah untuk sebuah toko buku setelah sebelumnya berpesan pada bik Sri, pembantunya di rumah.
“Nanti kalau anak-anak ada yang nanya, bilang saja ada keperluan mendadak ya, bik.”
Yang diajak bicara hanya manggut-manggut tanpa ingin tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan majikannya ini.

***
Sampai di toko buku, mereka berdua langsung menuju rak yang dituju. Rak kumpulan buku yang tentu berhubungan dengan kata itu. Mereka memilah-milah buku yang sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Agak lama mereka mencari apa yang akhirnya menjadi pilihannya. Lalu setelah sepasang mama-papa ini saling bertanya manakah kiranya buku yang pas dengan membaca-baca sebagian isinya, setengah jam kemudian sang papa menentukan pilihan pada sebuah buku.
“Apa sebaiknya nggak beberapa buku saja, pa!. Nanti kan nggak perlu gantian, biar lebih cepat paham juga?” Sang istri ingin pendapatnya bisa jadi masukan bagi suaminya.
“Kenapa tidak, Mau buku sama atau yang lain?”
“Yang lain saja pa, biar lengkap.”
Lalu keduanya menuju kasir. Meski agak menundukkan kepala waktu menyerahkan buku itu pada si kasir, dan si kasir agak ingin menatapi mata sepasang  papa-mama ini, mereka berdua jadi membelinya juga.
“Kenapa tadi mama menunduk, pas di kasir?”
“Mama kan ikut-ikutan papa.” Keduanya terbahak.
“Memang ya pa, sebenarnya kok agak gimana gitu. Rasanya kita ini kok nggak peduli banget dengan masa depan kita kelak. Tapi ya mau bagaimana lagi, waktu sudah terlalu banyak bicara, kita saja yang susah mendengarnya.”
“Iya, ma. Waktu sudah banyak mengingatkan kita, cuman kitanya saja yang tutup telinga.”
“Ya sudah lah pa, mungkin ini memang sudah ditakdirkan.”
“Kalau ini ditakdirkan, Lalu, apa mereka juga lantas ditakdirkan?”
“Maksud papa?”
“Iya, kan banyak tuh, orang-orang yang juga selalu sibuk dengan hartanya. Padahal sebenarnya meraka lupa pada dirinya sendiri. Apakah mereka akan bahagia, atau sebaliknya.”
“Kalau masalah itu, mana mama tahu pa, wong mama cuma menyampaikan unek-unek aja kok, malah ditanya aneh-aneh”
“Mungkin aja mama tahu, dari ngrumpi pas arisan, atau nggosip ama tetangga.
“Ah.. papa ini lho, mana pernah ngomongin gituan. Paling mentok juga bicara masalah artis-artis, yang bukannya dido’ain agar sadar, tapi malah diiri.”
“Ya sudah lah ma. Lain kali saja kita beli buku yang membahas masalah takdir manusia.
Lantas mereka berdua mengakhiri percakapan mereka di dalam mobil karena keempat ban mobil memang sudah sampai di pelataran rumahnya. Mereka turun dan masuk rumah. Anak-anak belum pada bangun. Sang istri menyuruh pembantunya agar menaruh sarapan buat mereka berdua di kamar, lantas mereka berdua memasuki kamar itu dan menguncinya dari dalam.
Di dalam kamar, mereka membaca buku yang baru saja mereka beli barusan. Halaman perhalaman mereka baca dengan teliti. Kalimat demi kalimat mereka resapi dengan hati.
Sampai satu minggu berikutnya, mereka baru selesai membaca buku itu. Kini, giliranya usai membaca teorinya, lantas mepraktekan isinya.
Mula-mula agak canggung juga, bagaimana mereka harus berpakaian yang terus terang saja tak biasa bagi mereka berdua. Tetapi bagaimanapun, mereka mengenakannya juga.
Sehari-dua hari mereka aman. Seminggu-dua minggu agaknya kerahasiaan masih terjaga. Barulah pada minggu ketiga, pasutri dua anak ini lupa mengunci pintunya. Lantas si bungsu yang kebetulan lewat depan kamar orang tuanya melihat kegiatan papa mamanya. Lalu ia menunggu sambil memperhatikan apa yang dikerjakan orang tuanya ini.
Dengan sedikit menyembulkan kepalanya, si bungsu melihat dengan jelas dari pintu kamar, lalu samar-samar dia mendengar ucapan salam.
“Assalamu’alaikumwarohmatulloh”
Sang papa mengucapkannya duluan, lalu si mama belakangan.
Si bungsu bertanya dari belakang yang didikuti celingukan dari kedua orangtuanya.
“Mama dan papa habis sholat ya?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi