Siti Istikomah


Begitulah, Siti Istikomah sesuai dengan namanya, lurus, lurus dan lurus. Konsisten dengan apa yang dijalani. Dengan keadaan sesulit apapun. Hatinya tetap konsisten mengharap ridho-Nya. Walau cobaan berkali-kali menghampiri, ia dapat menaklukannya juga. Karena ia memang selalu yakin, bahwa barang siapa yang menegakkan agama Allah, hidupnya akan bahagia. Dan sampai sekarang ia hidup, ia selalu membuktikan kalimat itu, dan tak pernah meleset sedikitpun.
Seperti ketika ibunya sakit sesakit-sakitnya, hingga sepertinya ibunya tak pernah merasakan sakit yang sepeti itu. Siti Istikomah dengan setia menemani ibunya tanpa sedikitpun ada rasa keluhan keluar dari mulutnya. Bahkan dari hatinya, ia senantiasa tulus mengaharap ridho dari Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Kuasa, Yang Maha Adil bagi makhuk-makhluk-Nya. Siti Istikomah menyuapi ibunya, memapah ke kamar mandi, mewudhuni, dan ia senantiasa sabar serta selalu mengingat bahwa barang siapa yang sabar, Allah selalu bersamanya. Dari semua dasar keimanan itulah, Siti Istikomah kini menjelma manusia yang benar-benar istikomah dan akan selalu istikomah sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun.
Setiap pagi, ketika cahaya matahari belum sampai di pintu kamarnya, ia sudah terlalu lama membuka mata. Bukan untuk hal-hal yang percuma, namun begitulah sebagaimana namanya, seandainya ibunya tidak sedang sakitpun Siti Istikomah tetap bangun dini-dini buat menunaikan sholat pra-sholat subuh. Kadang-kadang tahajud, dan seringkali sholat hajat. Karena betapapun sebahagia-bahagianya manusia, ia akan tetap memiliki hajat. Dan hajat Siti Istikomah dalam sholatnya ini pun tak kalah mulia. Bahwa yang selalu ia inginkan, ia hajatkan, adalah berhubung ia sudah bahagia sebahagia-bahagianya di dunia ini lantaran bisa memaknai hidup yang dititipkan-Nya ini, ia berharap pula semua insan manusia menikmatinya pula. Terutama yang selalu ia nomorkan satu buat menikmati hal itu adalah ibunya. Yang akhir-akhir ini memang sering sakit-sakitan. Usianya yang sudah terlalu menjulur mungkin, yang membuat tenaganya juga kian lemah. Kemudian dalam doanya itu yang diucapkan nomor dua adalah buat bapak yang kini telah menyandang Almarhum. Betapapun Siti Istikomah selalu ingat, bagaimana dulu ketika bapaknya itu masih ada, ia sering diajak keliling ke lingkungan Unnes yang di pegunungan itu. Dan ia pun masih ingat pula, ketika itu bapaknya ingin agar ia setelah lulus sekolah atas melanjutkan pula ke Universitas kebanggaan bapaknya itu. Siti Istikomah selalu menangis bila ingat peristiwa yang ini, betapapun ia ingin berteriak sekencang-kencangnya ke udara berharap bapaknya yang almarhum itu mendengarnya. “Bapak, telah kupenuhi impianmu. Aku juga masuk jurusan yang kau dambakan.”
Dan begitulah, kadang-kadang ia tersenyum-senyum sendiri mengingat peristiwa itu. Ketika ia membonceng di belakang punggung bapaknya, dengan sepeda motor Yamaha L2 Super lima tahun lalu. Kadang ia menangis sambil memeluk bingkai foto ayahnya. Dan sebagaimana namanya yang ‘istikomah’ itu, ia tahu, ia tak boleh berlarut-larut menangisi kesedihan. Biarlah semuanya berlalu tanpa beban perasaan yang mendalam. Dan ketika ia ingat keimanannya yang demikian ‘istikomah’ itu, sembuhlah sudah kesedihannya. Ia mulai tersenyum kembali. Bukankah manusia diciptakan bukan untuk menangisi kesedihan? Bukankah manusia diperintah oleh Allah untuk menyembah-Nya dengan penuh ketulusan,  dengan penuh kesabaran, agar ia akan memperoleh pula kenikmatan yang diimpikan semua insan?
Siti Istikomah kemudian mandi dan sarapan dengan apa yang sudah disiapkannya. Setelah ia menyuapi ibunya yang terlentang tak berdaya di ranjang yang berderak itu, lantas ia pamit seraya mencium tangan ibunya. “Assalamu’alaikum” tak pernah lupa diucapkannya. Ia berjalan lima puluh meter untuk agar bertemu dengan keramaian. Agar ia menemukan angkot yang bisa mengantarkannya ke kampus. Agar ia bisa mencari ilmu yang menunjang hidupnya. Ilmu yang diharapkannya bisa membantunya mendapatkan penghargaan yang layak. Ilmu yang kemudian dapat menghasilkan biaya yang dapat menopang kebutuhan hidupnya. Agar ia merasa nyaman saat beribadah kepada-Nya. Dan niat lain adalah untuk menyebarkan ke’istikomah’annya. Bahwa dalam hidup ini yang paling penting adalah berharap ridho-Nya dengan istikomah. Seistikomah mungkin.
***
Di balik kerudung hitamnya, senyumnya menyapa pada setiap ukhti-ukhtinya yang ditemuinya di kampus. Serta tak lupa ucapan salam halus yang senantiasa mewarnai bibirnya. Dengan rok yang panjangnya setara sepatu pula ia berjalan biasa tanpa melenggak-lenggokkan pinggulnya. Ia tahu, kadang ia lupa yang satu ini. Lalu ketika ingat, tak lupa ia berucap “astaghfirulloh” seraya memperbaiki cara berjalannya agar tak mengundang syahwat bagi akhi-akhi-nya. Pada akhi-akhi-nya ketika berjumpa, sesuai keistikomahannya, setelah pandangan pertama yang tak sengaja, ia menundukkan pandangannya. Berharap akhi-akhi-nya memahami akan statusnya sebagai muslimah. Dan begitulah, Siti Istikomah menikmati hidupnya dengan penuh ketaatan pada Allah Subhanahu Wata’ala.
***
Pada hari ke-dua ketika ibunya sedang dalam sakit yang sesakit-sakitnya itu, Siti Istikomah tak mendapati ibunya ada di ranjang reotnya. Ia kebingungan, meskipun sebenarnya ia sudah berucap “Masya Alloh” ketika ia mendapati pintu depan rumahnya tak lagi tertutup. Kemudian ia keluar dan lekas menuju rumah lik Yem, tetangga sekaligus bibinya. Namun pintu rumahnya terkunci . Ia semakin bingung. Lalu dia berlari ke jalan dan mencari siapa saja yang bisa ia cari, menanyai siapa saja yang bisa ia tanyai. Bertemulah ia pada Maskuri, teman sekolah atasnya dulu. Kata Maskuri yang dulu pernah juga menyatakan cinta padanya dulu, dan sampai sekarang masih berharap agar ia menjadi pacarnya, namun, ditolaknya mentah-mentah dengan alasan ‘dalam islam tak ada yang namanya pacaran’, “Siti, ibumu dibawa ke rumah sakit lik Yem dan lik Darto. Tadi dibopong masuk angkot.” Siti Istikomah hampir pingsan mendengarnya. Tapi kembali ia ingat, sebagai ‘istikomah’ haruslah tahan cobaan apapun itu. Dan walaupun kini, ia tahu harta dari darahnya adalah tinggal ibu satu-satunya itu, ia memang harus tetap tabah dalam menjalani rintangan kehidupan.
Bahwa ibunya di rumah sakit, sesudah ia berucap “Innalilahi wa inna ilaihi raaji’un” dan “Astaghfirulloh” Siti Istikomah memprediksi barang apa saja yang bisa ia jual untuk menopang biaya buat ibunya di rumah sakit. Karena selama ini, mengapa ketika ibunya tidak dibawa ke rumah sakit tatkala sakit, jawaban pertama yang paling masuk akal bahwa bapaknya sudah menghuni rumah lain, di alam kubur sana. Dan tidak mungkin lagi dimintai pertanggungjawaban berupa biaya hidup. Lalu jawaban kedua ter-masuk akal adalah tak ada barang-barang lagi yang layak dijual. Sepeda motor, laptop, televisi, sepeda mini, radio, dispenser dan barang-barang berharga lainnya semua hanya tinggal kenangan. Semuanya dijual untuk ditukar dengan kesehatan. Namun sayang, kesehatan yang didambakan tak pernah lama bersarang di badan. Mungkin lantaran cobaan yang harus tak pernah berhenti menghadang, atau alasan lain yang paling masuk akal, entahlah, Siti Istikomah kini bingung menimang-nimang telepon genggamnya. Apa barang berharga satu-satunya yang tinggal ia miliki ini harus ia relakan pula? Untuk ditukar dengan kesembuhan yang entah berapa lama akan bertahan?
Sebenarnya tak begitu berat pula bila ia harus melepas barang yang melekat di tangannya itu, namun sekali lagi bahwa ini adalah tentang kenangan. Bahwa lima tahun yang lalu, telepon genggam itulah yang dibuatnya mengabadikan gambarnya bersama bapaknya ketika mereka sama-sama meluangkan waktu di sore hari untuk melepaskan kepenatan dan tentu untuk menanam harapan. Sebuah harapan besar bahwa kelak ia akan menyandang mahasiswa yang tentu akan mendongkrak kehormatan keluarganya. Sandang status yang banyak dibanggakan oleh para orang tua pada umumnya.
Namun kemudian pergulatan batin Siti Istikomah berakhir pula, ketika ia mendapati ibunya memang sedang membutuhkan kesembuhan. Bahwa kesembuhan yang akan bertahan lama atau tidak, yang terpenting adalah ia ingin melihat ibunya tersenyum dan menjawab salamnya saat ia berangkat kuliah.
***
Siti Istikomah kini memegang uang dua ratus ribu rupiah hasil penjualan telepon genggamnya. Masih kurang delapan ratus dua puluh ribu rupiah. Kata pengelola administrasi, dibutuhkan biaya satu juta dua puluh ribu rupiah untuk maksimal menginap dua hari dua malam. Sedang, kata dokter yang memeriksa ibunya, minimal ibunya harus menginap dua hari tiga malam. Ia tak tahu lagi harus berucap apa pada dokter dan pengelola administrasi itu, bahwa ia ingin bilang tak ada lagi barang berharga di rumahnya yang bisa dijual, ia terlalu bimbang.
Lalu harapan Siti Istikomah kini hanyalah tanda simpati dari Pak-lik dan Bu-lik serta Pak-de dan Bu-de nya yang berupa uang. Serta tetangga handai tolan yang peduli dan simpati kemudian mengekspresikan simpatinya dalam bentuk kertas yang berharga pula.
Sesudah semuanya terkumpul, Siti Istikomah menghitungnya lagi. Semuanya ada tujuh ratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Masih kurang dua ratus empat puluh lima ribu rupiah. Lalu ia berpikir lagi. Apa lagi yang bisa diperbuat untuk menyokong dana buat biaya ibunya di rumah sakit. Dalam kebingungannya, sebagai muslimah yang ‘istikomah’ ia tentu ingat, bahwa Allah adalah Penolong dari semua penolong. Tiada lain yang lebih Penolong dari-Nya. Kemudian, dalam setiap qobla dan bakda sholat rawatib, ia dirikan pula sholat sunnah qobliyah dan bakdiyah dengan khusuk pula. Selain berharap pahala yang lebih, ia berharap pula rezeki yang bakal dilebihkan Sang Illahi. Bahwa rezeki sudah dicukupkan oleh-Nya memang ia percaya dengan sepenuh hati. Namun begitulah, Siti Istikomah meminta pada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan tersenyum pula. Ya Allah, hamba tahu, Engkau telah mencukupkan nikmat pada setiap hamba-Mu. Namun, Engkaulah Yang Maha Tahu, bahwa kini ibuku yang tersayang sedang terbaring di rumah sakit. Dan dalam hal ini ya Allah, aku, sebagai hamba-Mu yang selalu mencoba lebih taat dan lebih baik ini membutuhkan biaya buat ibu di rumah sakit. Semuanya sudah terkumpul tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah ya Allah, sebagaimana Engkau Maha Tahu. Dan sebagaimana Engkau tahu, hamba tidak memiliki Jamkesmas sehingga tidak bisa berobat gatis. Hamba sudah mengumpulkan uang dan hasilnya memang masih kurang. Hamba sangat tahu bahwa Engkau Maha Tahu, maka dari itu ya Allah, bukan maksud hamba memberi tahu, maka hanyalah sebagai hamba yang selalu dan akan terus selalu lemah dan merasa lemah dalam keadaan apapun, hamba hanya memposisikan diri sebagai hamba yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan dari-Mu. Meski sebenarnya hamba pun tahu, sebagaimana pengetahuan yang Engkau berikan bahwa haba sudah selalu Engkau tolong pada setiap denyut nadi. Namun, Engkaupun sebagaimana Maha Tahu, selalu tahu bahwa kelemahan makhluk-Mu adalah selalu meminta tolong pada-Mu. Maka dari itu ya Allah, sekali lagi, bukan bermaksud untuk memberitahukan pada-Mu, namun untuk benar-benar menandakan bahwa setiap makhluk butuk pertolongan-Mu, hamba ingin keajaiban tambahan rezeki dari-Mu. Alhamdulillahirobbil’alamiin. Alfatihah. Begitu kira-kira proposal Siti Istikomah buat Allah Subhanahu wata’ala.
***
Keesokan harinya, Siti Istikomah seusai kuliah langsung menuju rumah sakit tempat ibunya dirawat. Ia tak tahu bagaimana cara Allah memberikan keajaiban itu. Yang jelas, ia berjalan sambil tersenyum siang itu. Di siang yang benar-benar terik itu, setelah turun dari angkot ia tambah pula garis senyumnya. Dan sesudah ia berhadapan dengan pengelola administrasi, dan bertanya sekali, bertambah pula senyumnya berkali-kali lipat. Saking berat senyumnya, Siti Istikomah meletakkan wajahnya di lantai sembari mengucap “Alhamdulillah ya Allah, Engkau memang tak pernah mengingkari janji.”

Gubug,  November 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiku Junior Lolos 12 Besar Piala Soeratin Jateng

Tentang Malam Minggu, dan Antara Malam yang Sibuk dan Menyenangkan

Daftar Pesepakbola dan Pelatih dengan Penghasilan Tertinggi